Wednesday, April 24, 2013

Merayakan Keterkekangan pengetahuan


            Ujian Nasional (UN), sebuah frase ini mirip sebuah mantra sihir yang mampu menyihir berjuta manusia yang terseragamkan dalam ikatan identitas “pelajar” institusi pendidikan yang dinamai sekolah di negeri kita tercinta ini. Frase ini merupakan sebuah grand narasi yang tercipta dari struktur yang menekankan pada hal yang muncul dipermukakan, layaknya sebuah budaya display suatu produk dengan nilai jual tanpa menggali lagi lebih dalam pengetahuan berada pada posisi di mana dan untuk apa. Menjadikan bisnis sebagai dasar pengetahuan permukaan. Nampaknya penggalian ilmu pengetahuan menjadi sangat pragmatis saat-saat ini, dimana katanya setiap manusia dalam grand narasinya hidup dalam era modern.
           
Apa yang anda bayangkan atau ketahui tentang Ujian Akhir Nasional?, anda yang pernah melaluinya niscaya memiliki kecapan sejarah yang monumental, garis-garis pengalaman yang mempunyai rasa tersendiri. Ujian untuk lulus dari sekolah terasa lebih berat dari pada ketika awal-awal hendak memasuki sekolah. Dalam bayangan kita sebagai produk berseragam struktur pendidikan nasional pastilah kita mempunyai bayangan UN yang hampir sama khususnya yang pernah mengecapnya di abad 21__maklumlah kita merupakan produk__ walaupun ada yang sedikit berbeda tidak menjadi masalah besar, karena sangat tidak nyaman untuk mendeterminasi bayangan yang ada.
            Mari membayangkan, setelah terdengar fase “Ujian Akhir Nasional” pergerakan otomatis otak kita mengarah ke-arah angka sebagai pola standarisasi kelulusan, “masa intensif belajar” , “kegelisahan menghadapi ujian”, “pengawas ruangan”, “kecurangan-kecurangan, “pengumuman nilai”, “pawai bermotor”, “corat-coret baju”, dan “masa kebingungan mau lanjut ke mana pasca lulus”.
            Mari mengurai kasus ini, “angka” yang biasanya menjadi momok menakutkan bagi para pelajar maupun staf institusi sekolah terkait, secara hierarki mulai dari kepala sekolah, guru-guru sampai orang tua mereka. Pola ini ternyata berimplikasi pada reaksi-reaksi pragmatis walaupun tujuan awalnya adalah standarisasi yang ingin menimbulkan kesadaran rasional individu untuk meng-upgrade potensinya.
            Salah satu reaksi pragmatis dari pola angka sebagi pola standarisasi, sekolah__lembaga bimbingan belajar melihatnya sebagi bahan meraup rupiah lebih__ membuatkan apa yang mereka fokuskan sebagai “masa intensif belajar” dengan pengerjaan soal-soal terdahulu menjadi prioritasnya dengan ekspektasi ada soal-soal yang keluar nantinya “mirip” dengan soal yang dibahas baik dari modelnya hingga kepada narasinya. Dengan pola ini, maka kita berhak menyimbolkan bahwa di luar “masa intensif belajar” merupakan “masa tidak intensif belajar” atau tidak terlalu seriuslah, meskipun kata “intensif” ini merujuk pada penambahan jam belajar, kualitas pembahasan soal, tambahan gaji para guru les, dan sebagainya.
            Bagaimana jika kita membalik logika ini?, satu minggu sebelum UN belajarnya lebih rileks tetapi di luar satu Minggu itu “belajar intensif” atau mempunyai durasi yang panjang ketimbang “belajar yang tidak intensif”. Hal-ihwal seperti ini sering dipraktekkan oleh perguruan tinggi di Indonesia, dimana sebelum menghadapi Ujian Akhir Semester, akademik memberikan jatah libur__minggu tenang__ untuk mempersiapakan ujian tersebut.
            Masih seputaran tentang “standarisasi berupa angka” yang merupakan biang keladi dari reaksi pragmatis institusi, ternyata standarisasi ini membuat para kepala sekolah dan segenap jajarannya menjadikan ajang ini sebagai ajang mencari atau mempertahankan suatu hal yang bernama “citra”. Mendikotomikan citra sebagai sekolah terbaik dan favorit dengan jargon-jargon pragmatis, kita sering melihat banner di jalan-jalan dengan bertuliskan___ sekolah kami lulus 100% dan lulusan terbaik, dsb__, yang ujung-ujungnya adalah pusat sanjungan jatuh kepada kepala sekolah dan bisa meng-up grade profilnya dan lembaganya. Dari proses berfikir seperti ini muncullah cara-cara untuk menggapainya, “intensif belajar” ada yang mengatakan inilah positifnya walaupun pernyataan ini masih sangat lemah sampai “kecurangan-kecurangan” yang bernada sedikit minor (negatif).
            Jika “kepentingan” yang menjadi tolak ukur hal-ihwal ini, semua pola tersebut dapat dibenarkan demi pengejaran kepentingan masing-masing. “Kecurangan individu/kelompok” dengan cara mencari soal/jawaban sebelum ujian__kebocoran soal/jawaban yang terjadi hampir tiap tahun__, nyontek dalam ruangan kelas “ketakutan karena ada jawaban salah dan benar” dari pilihan soalnya, “kecurangan terorganisir” pihak sekolah yang memberikan bantuan jawaban terhadap murid-muridnya biasanya pada secarik kertas yang beredar di dalam kelas dan sebagainya. Jika sampai banyak yang tidak lulus, bukan hanya pelajar yang ikut memikul beban, tapi institusi sekolah “citra sekolah anjlok__ kepala sekolah berserta perangkatnya__ kira-kira begitulah narasinya, sehingga persoalan dari pola pragmatis yang sama akan terulang dari tahun ke tahun__menjadi siklus bahkan menjadi siklus siklikal.
            “Angka”, perdebatan akan hal ini akan terus menarik, karena narasi ini yang dipakai institusi sekolah untuk menjustivikasi lewat labeling seseorang pintar-bodoh. “Kejam”,  mungkin kata inilah yang pantas dipakai untuk menghabisi seseorang dengan kata “bodoh”, mengkerdilkan manusia dan menambah beban psikologis yang dari kecil apabila ia dapatkan maka “narasi bodoh” ini akan terbawa sampai ia beranjak besar bahkan sampai tua.
            “Bodoh, nakal dan tak tahu aturan”, merupakan menu paketan yang biasa seseorang ucapkan terutama bagi sosok yang dianggap mulia/sumber kebenaran mutlak “guru” yang menjudge siswa-siswanya yang berprilaku tidak seperti yang diharapkan. Padahal fakta sejarah memberikan memberi pelajaran kepada kita, pengetahuan mengalami kemajuan yang signifikan saat manusia berada pada posisi tidak setuju dalam sebuah narasi atau sebuah wacana besar yang dianggap sebagai kebenaran yang membelenggu dan dalam proses pencapaian manusia melakukan hal-hal di luar aturan orang normal. Kadang dengan sederhana melihat langit, bintang, air dan sebagainya, memunculkan pemikiran kompleks, pertanyaan-pertanyaan lalu memunculkan penjelasan-penjelasan atasnya.
            Jika kita mau “fair” dalam kehidupan ini, bahwa setiap manusia terlahir potensial dan berbeda-beda, justru itu akan menjadi kekuatan apabila ia mendapatkan instrumen untuk mengasahnya “on the right place”. Pertanyaan yang bisa kita ajukan kepada mereka yang sering menjudge pintar-bodoh, apakah anda yakin orang yang anda katakan “pintar” itu akan menjadi “orang pintar yang baik” kedapannya, melihat fakta sejarah korupsi di negeri kita ini rata-rata lahir dari orang yang semasa kecilnya terkonstruk “pintar” di sekolahnya.

Pemerintah Tandingan



           
                Pemberdayaan (Empoering), saat ini sudah menjadi akrab sebagi orientasi pembangunan karakter warga masyarakat, terutama untuk anggota masyarakat miskin dalam menghadapi persoalan-persoalan kehiduan mereka. Dengan demikian, mereka mempunyai kemandirian dan tidak bergantung pada kretivitas dan kekuatan lain. Termasuk dari negara.
            Dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik, terdapat konsep dan mekanisme pemberdayaan masing-masing. Hukum misalnya, melalui mekanisme bantuan hukum, memiliki konsep pemberdayaan untuk kelompok sasarannya. Pemberdayaan itu dilakukan dengan membangun kesadaran hukum masyarakat, agar tidak memahami kasus hukum yang dialaminya dari sudut hukum semata, tetapi juga konteks sosial politik dan ekonomi, bahkan budayanya.
            Seorang pakar bantuan hukum mengatakan, tujuan utama bantuan hukum yakni penyadaran untuk memperdayakan kelompok sasaran, yakni mereka yang buta hukum dan miskin. Dari konsep itu, lalu muncul lembaga-lembaga semacam paralegal, yakni individu-individu yang terlibat perkara hukum dididik untuk memperdayakan diri dan kelompoknya sendiri dalam menghadapi dan menyelesaikan persolannya. Tanpa harus menunggu turun tangannya aparatur negara, yang kadang justru tidak menguntungkan mereka.
            Di bidang ekonomi, mekanisme pemberdayaannya bisa merujuk ada mekanisme yang dikembangkan melalui institusi koperasi . Secara konseptual, institusi tersebut merupakan mekanisme pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan cara melibatkan mereka langsung dalam aktivitas-aktivitas perekonomian di koperasi. Atau, konsep bapak asuh-anak asuh, yakni perusahaan-perusahaan besar mendidik pengusaha-pengusaha kecil yang menjadi partner usahanya, agar bisa berkembang besar. Biarkan negara menjadi penonton atau aturan mainnya, serta mengawasi secara pasif, kalau-kalau ada kasus.
            Produk dari pendidikan seperti itu, yakni tampilnya pribadi-pribadi yang mandiri. Selain di tingkat micro seperti itu, maka tingkat macronya berupa upaya pembangunan iklim kehidupan yang lebih leluasa dan mendukung pemberdayaan publik.
            Dalam zaman postmodernism ini, semua bidang mengalami dekonstruksi, termasuk peran negara. Seberapa pun besarnya  dan terstrukturnya organisasi yang bernama negara, tidak akan meraup atau mengurusi semua tetek-bengek kebutuhan hidup rakyatnya, yang beraneka ragam dan terus berkembang tiada henti. Organisasi yang sangat besar dan sudah terstruktur, terbukti justru menjelma menjadi sosok yang lamban, birokratis, bertele-tele, biaya mahal, dan selalu selalu ketinggalan dengan akselerasi kebutuhan hidup rakyatnya. Hal itu nyaris terjadi dalam semua bidang.
            Negara bukan lagi diterima dan diakui sebagi satu-satunya kekuatan dan kekuasaan yang sah sehingga kekuasaan lain yang ada di dalam negara itu harus enyah. Dominasi dan hegemoni negara atas semua urusan kehidupan rakyatnya, bukan zamannya lagi. Sentra-sentra kekuatan dalam negara, yang memasuki semua wilayah urusan kemasyarakatan dan terlegitimasi di mata rakyat, karena secara riil dan konkret dirasakan manfaat kehadirannya, sekarang tersebar di mana-mana.
            Sentra-sentra kekuatan itu, bahkan merupakan resultan dari kreativitas masyarakat, yang tidak bisa dibendung lagi. Lantaran, mengetahui dan mengalami kegagalan negara dalam melayani mereka, baik di bidang hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan keamanan.
            Penelitian Fernando des oto dari peru, menjelaskan bahwa karena berbagi kebutuhan masyarakat tidak dapat dipuaskan oleh birokrasi pemerintahan dengan baik, maka di negara itu akhirnya masyarakat membangun sendiri semacam ‘pemerintahan informal’ atau ‘pemerintahan tandingan’. Maka di banyak negara, kini muncul permukiman transportasi, pasar, dan lainnya, yang inisiatif keberadaan dan pengelolaannya murni dari dan oleh pihak-pihak informal, bukan pemilik pemerintah resmi.
            Apalagi kalau kita melihat pendapatnya Satjito Raharjo, guru besar fakultas hukum universitas Diponegoro dalam sebuah tulisannya, perkembangan itu tidak dapat dihentikan dengan mengecap pertimbangan itu sebagai sesuatu yang negatif dan salah, karena itu harus dilarang. Pandangan dan sikap seperti ini, malah menyebabkan matinya dinamika positif yang tengah terjadi dalam masyarakat, akibat kegagalan pemerintah sendiri. Tentu saja rakyat tidak bisa diharapkan untuk menunggu dan membiarkan kegagalan negara ini, karena menyangkut kepentingan hidup mereka yang vital.
            Sekarang, negara sudah kehilangan citranya sebagai raksasa yang mampu memberi kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyatnya. Era negara sesungguhnya sudah lewat sejak akhir 2010  dan digantikan bermunculnya berbagai sentra kekuatan yang menyebar. Sentra itu tidak “melawan” negara, melainkan sekedar mengisi hal-hal yang gagal dilakukan dan ditangani oleh negara serta pemerintah.
            Karena itu, tidak perlu terlalu mencurigai kiprak LSM dalam memberdayakan rakyat di semua bidang, inisiatif mahasiswa sebagai agent of change dalam membangun sarana-sarana umum bagi rakyat di lokasi pengabdian mereka, atau pendidikan politik oleh parpol terhadap konstituennya. Semua dalam rangka memberdayakan rakyat untuk membangkitkan kemandirian mereka, menambal sulam kelemahan dan kelambanan birokrasi. Dengan demikian, dinamika sosial dari sentra-sentra kekuatan di masyarakat ini, tidak perlu membangkitkan suasana pertentangan diametral dengan pemerintah.
            Hanya yang harus dilakukan bersama­­­­__ bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga rakyat  dan para penggerak dan aktivis sosial__, yakni menjaga aagar gerakan sosial dari pihak-pihak swasta atau ‘pemerintahan formal’ tersebut, benar-benar bisa tetap menghasilkan hal-hal yang positif dan produktif bagi bangsa ini.  Karena itu, tidak boleh menimbulkan problem baru yang menimbulkan saling kecurigaan, saling serang atau saling menjatuhkan antara ‘pemerintah formal’ dengan ‘pemerintah nonformal’, karena pada akhirnya , rakyatlah yang malah dirugikan dan dikorbankan. Bukankah landasan teoritis dan orientasi keberadaan ‘pemerintah formal’ yang menggerakkan dan memberdayakan rakyat itu, semata-mata ingin mengatasi persoalan yang ada di tengah kehidupan rakyat, namun gagal diemban oleh negara dan pemerintah? Tujuan itu hanya akan terealisasi kalau masing-masing salaing melengkapi, saling menunjang, saling berpartisipasi dalam koridor mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Tulisan Ini pernah dimuat di koran SINDO edisi 22 Nopember 2011

Tuesday, February 12, 2013

Indonesia dalam Perspektif Agama


Indonesia dalam Perspektif Agama
Oleh : Muhammad Fauzinuddin

            Interaksi sosial antar umat manusia membuka dua dimensi, yakni harmoni dan konflik. Harmoni terbangun ketika ketika masing-masing pihak berusaha untuk saling memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap yang lain. Dengan cara demikian, akan tercipta sebuah kehidupan yang rukun dan penuh dengan kedamaian. Sebaliknya, konflik terjadi ketika masing-masing pihak memegang dengan kukuh kebenaran yang diyakininya tanpa kompromi, melihat pihak lain sebagai lawan yang harus dikuasai, dan harus ditundukkan. Jika satu pihak, apalagi masing-masing pihak memegang dengan kukuh sikap semacam ini, maka konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat untuk dihindari. Perbenturan kepentingan, hasrat menguasai, dan sikap arogan, menjadi sebab determinan bagi lahir dan berkembangnya sebuah konflik.-
            Jika kita berbicara Indonesia dalam kaitannya dengan keharmonisan dan konflik, maka yang lebih dominan terbesit dalam puncak klasemen aksentuasi kita adalah tentang sosial-keagamaan, bagaimana tidak, hal ini sudah berakar dan menjamur, dan kelihatannya akan terus berlangsung karena beberapa hal. Hakikatnya ketegangan semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di belahan dunia pun juga terjadi konflik serupa meskipun tidak serumit dan sekompleks di negara yang pernah dijajah belanda dan jepang, ini karena Indonesia merupakan penduduk dengan agama dan etnis terbanyak di antara negara-negara lain.
Pengertian Agama
            Kerap kali kita membaca dan mendengar orang mencoba mencari dan menerangkan  arti agama dari segi etimologi, bahwa agama berasal dari dua kata: a = tidak dan gama = kocar-kacir atau berantakan. Jadi arti kata “agama” adalah tidak kocar-kacir, atau tidak berantakan. Lebih jelas lagi kata agama itu adalah teratur, beres. Teori yang kuat sekali diduga berasal dari Fachroeddin Al-Kahiri ini sering kali dikutip dalam ceramah-ceramah dan dalam tulisan-tulisan, baik dalam brosur-brosur, majalah-majalah, buletin-buletin, maupun buku-buku.[1]
            Berbicara tentang mencari arti agama dari segi etimologi, menarik sekali kalau kita simak uraian Bahrum Rangkuti, seorang cendekiawan muslim yang ahli bahasa (baca : languist) dan sekaligus mantan sekjen departemen agama era 70-an (sekarang depag berubah nama menjadi kemenag), dalam salah satu diktatnya, ada beberapa uraian menarik. Menurut beliau agama berasal dari bahasa sansekerta: a-gama (tanda (-) artinya dalam pelafalan dibaca panjang). Masih menurut Bahrum, orang-orang yang mengatakan bahwa agama diambil dari kata : a = tidak, gama = kacau, jadi : agama = tidak kacau. Ini sebenarnya tidak ilmiah, oleh karena yang menerangkan itu belum mengetahui bahasa sansekerta. Memang (a) dalam bahasa kita = tidak, seperti : aneka. A = tidak, eka = satu, jadi aneka = tidak satu/beragam. Tapi kalau (a) panjang a-gama, artinya a = cara, jalan, the way; gama, mulanya gam adalah bahasa Indo Germania = bahasa inggris to go = berjalan, maksudnya adalah cara-cara agar sampai kepada keridloan tuhan.[2]
            Sedangkan mencari pengertian dan definisi agama dari sisi terminologi menurut mantan menteri agama Mukti Ali merupakan hal yang paling sulit. Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan  oleh ali, sapaan akrabnya. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal bathini dan subyektif, juga sangat individualistis. Kedua, barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih dari pada membicarakan agama, maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali sehingga sulit memberikan arti kalimat agama itu. Ketiga, konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu. [3]
            Akan tetapi menghadapi kenyataan tersebut tidak usah diartikan, bahwa kita tidak usah berikhtiar mencoba untuk memahami dan merumuskan “agama” itu sejauh kemampuan kita.

Pluralitas dan Pluralisme Agama
            Realitas keragaman Bangsa Indonesia tidak hanya ada pada tingkah laku dan budaya atau tradisi saja, akan tetapi juga di dalam agama. Kenyataan Plural sangat mudah dilihat dari berbagai kegiatan ritus umat beragama, terutama pada perayaan hari-hari besar mereka. Setiap agama mempunyai tradisi merayakan hari besar agama yang dianggap sebagai hari suci mereka. Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha diperingati oleh umat Islam; Hari Natal, Kenaikan dan Wafatnya Isa Al-Masih oleh umat kristiani; Imlek oleh umat beragama Konghuchu; serta Hari Raya Nyepi dan Waisak diperingati oleh umat beragama Hindhu dan Budha menjadi bukti keragaman nyata dalam menjalankan agama masing-masing kelompok.[4]
            Sejak masa nabi sendiri, umat Islam sudah tidak asing dengan suasana kehidupan yang plural atau majemuk. Rachman menyebutkan, “Pluralitas itu memang tidak menyangkut masalah-masalah asasi seperti keimanan dan ketakwaan, melainkan disebabkan oleh peradaban latar belakang masing-masing pribadi dan kelompok kalangan umat itu sejak dari dahulu”. Sisa-sisa primordial seperti faktor keturunan, kesukuan, kedaerahan, dan sosial budaya lainnya menjadi sangat berperan bagi realitas kehidupan plural dalam masyarakat, termasuk masyarakat Islam.[5] Hendar Riyadi pernah menuliskan dalam bukunya, “Pluralitas atau kebinekaan agama merupakan suatu kenyataan aksiomatis (yang tidak bisa dibantah) dan merupakan keniscayaan sejarah(historical necessery) yang bersifat universal”.[6] Pluralitas merupakan keniscayaan/sunnatullah, karena proses sejarah dan akulturasi yang berbeda-beda. Sedangkan pluralisme merupakan paham yang berusaha melindungi dan mempertahankan pluralitas secara apa adanya. Definisi MUI tentang pluralisme adalah definisi gegabah yang sempit, karenanya yang penulis pahami dari Gus Dur adalah semua agama sama dalam cita-cita luhur dan mulia dalam memperjuangkan relasi vertikal dan horizontal yang harmonis, karena tidak ada agama yang secara jelas mengajak dan mengajarkan kejahatan dan keburukan. Mundzirin mendefinisikan pluralisme sebagai suatu pandangan yang mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling mendukung untuk bisa hidup secara damai”.[7] Selama ini istilah pluralisme , terutama dalam bidang agama sering diidentikkan dengan barat. Padahal berbagai bentrokan dan konflik yang sering terjadi di kalangan masyarakat kita terjadi karena pengaruh orang-orang barat itu sendiri. Selama ini orang Barat yang dianggap pluralis, belum menerapkan pandangannya itu dalam wilayah yang lebih luas, yaitu hubungan antar-agama.
            Armahedi Azhar melihat ada lima penyakit yang menghinggapi para aktivis gerakan keagamaan seperti yang dikutip oleh Muhammad Fauzinuddin, yaitu : absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah emosional, ekstremisme adalah sikap yang berlebihan dan agresivisme adalah tindakan fisik yang berlebihan.[8]
Probabilitas Penyebab Konflik antar Agama dan Langkah Solutif dalam Menyelesaikannya.
            Konflik dan/atau ketegangan lintas agama yang  sering terjadi di Indonesia menjadikan penulis memaparkan probabilitas-probabilitas penyebab tergerusnya kerukunan umat bergama, bahkan dengan cepat berubah menjadi konflik lintas agama, bahkan konflik atas sesama umat Islam. Pembunuhan Utsman ibn Affan adalah contoh klasik pertama dan utama konflik sesama sahabat nabi, dan contoh-contoh konflik lain dewasa ini bisa kita lihat dengan eksistensi Ahmadiyyah dalam agama Islam. Dan ini hanyalah contoh kecil sebagai “trigger” dari diskusi kita mengenai probabilitas ketegangan dan konflik antar agama di Indonesia, yang penyebabnya sebetulnya bisa jauh lebih luas, njelimet dan kompleks. Untuk itu Suwarno mencoba mentabulasi serangkaian probabilitas penyebab konflik dan upaya yang dianggap solutif dalam menyelesaikannya.
            Pertama, tidak adanya pemisahan antara agama dan negara. Bila hukum dan kebijaksanaan negara banyak dipengaruhi agama dan perpolitikan dengan agama, maka akan cenderung sektarian, lebih-lebih apabila salah satu agama menjadi dominan. Dalam situasi seperti ini sengaja maupun tidak agama lain pasti akan dikalahkan, karena setiap agama disadari atau tidak merupakan organisasi yang bersaing satu sama lain. Campur tangan agama dalam urusan negara, apalagi negara plural/majemuk, seharusnya dibatasi.
            Kedua, kurangnya penegakan hukum atau pembentukan hukum yang cenderung sektarian. Dalam negara hukum yang melakukan tindakan kekerasan atas keyakinan agama oleh rakyat biasa tidak bisa dibenarkan dan harus dihukum. Pembuatan undang-undang juga harus menekankan kepentingan semua rakyat yang pluralis. Pembiaran tindakan kekerasan berdasarkan keyakinan keagamaan dan pembuatan undang-undang yang sektarian pasti akan menimbulkan ketegangan selain ketidak adilan itu sendiri.
            Ketiga, Kekerasan dan penghakiman atas nama agama serta kurangnya penegak hukum,. Beberapa kelompok agama melakukan penghakiman berdasarkan keyakinan dan sering tidak berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Ada juga kelompok agama yang menghakimi kelompok lain berdasarkan keyakinan bahwa kelompok lain tersebut bersalah dan harus dihukum. Kedamaian lintas agama hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
            Keempat, adanya kehausan dan kekuasaan. Kelompok agama dan para pemimpin agama ternyata memang sangat senang kekuasaan termasuk kekuasaan politis. Kita sudah sering dengar bahwa kekuasaan politis yang dimiliki siapapun, termasuk agamawan, cenderung korup. Paling tidak mereka selalu ingin menang dan lebih unggul dari yang lain dengan cara-cara yang tidak agamis. Peperangan politis yang membawa agama sudah kita ketahui sering membawa konflik; dan kalau politik itu membawa bendera agama, maka konflik politik dan konflik agama bercampur dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini mempertimbangkan motto Nurcholis Madjid “Islam YES, Islamic Party NO,” sangat signifikan bagi terciptanya kerukunan.
            Kelima, Meningkatnya fundamentalisme dan radikalisme dibarengi oleh menguatnya keyakinan akan adanya kebenaran dan interpretasi teks agama yang tunggal. Masyarakat agama yang feodal akan cenderung memfasilitasi terjadinya interaksi keagamaan yang dipenuhi oleh usaha untuk menyatukan interpretasi mengenai kehendak Allah yang dianggap sudah pasti dalam kitab sucinya. Meningkatnya fundamentalisme dan interpretasi tunggal, kemungkinan besar menuju bertambahnya sikap dan tindakan yang tak kenal negosiasi apalagi kompromi karena berkembangnya keyakinan akan adanya kebenaran absolut. Untuk menanggulangi maslah seperti ini perlu dikembangkan pluralisme pikiran dan pandangan dalam agama dan beragama yang memaksa pengikut agama membiasakan diri dengan melihat adanya perbedaan pandangan dan menghargai perbedaan tersebut dengan tetap memperbolehkan usaha saling meyakinkan. Untuk menghadapi keyakinan dan interpretasi tunggal dan absolut yang memupuk anti pluralisme dan pengkafiran terhadap mereka yang berbeda, penting sekali memupuk tradisi ijtihad yang memberikan pembebasan para agamawan untuk memikirkan apa yang terbaik bagi keyakinan dan kehidupan masyarakat agama di era modern yang serba kompleks.
            Keenam, Bekurangnya Public Space, sejalan dengan semakin meningkatnya fundamentalisme dan berkurangnya moderatisme, maka banyak sekali pembangunan atau pendirian tempat ataupun organisasi bercirikan agama tertentu yang mengambil ruang lingkup interaksi umum. Bukan hanya sekolah ataupun rumah sakit tetapi juga bank dan Pom bensin; organisasi yang berkembang pesat sekarang ini adalah organisasi keagamaan. Dengan demikian ruang publik  yang boleh diikuti oleh semua orang tanpa pandang bulu semakin berkurang, yang berakibat kurangnya interaksi plural. Keadaan seperti ini tidak hanya menimbulkan ketidak tahuan mengenai kelompok lain, melainkan juga menimbulkan kecurigaan karena ketidaktahuan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kecurigaan mudah berubah menjadi kebenciandan ketegangan sosial yang mudah menyulut konflik. Oleh karena itu public space penting sekali dalam menangkal ketegangan dan konflik lintas agama.
            Ketujuh, kekurangdewasaan menyebabkan mereka yang mengaku hamba-hamba Allah yang taat terperosok dalam sikap dan tindakan emosional. Sikap dan tindakan emosional ini mudah sekali menyulut ketegangan, perpecahan, dan konflik. Dalam masyarakat yang kurang bisa menjaga emosi secara dewasa, segala sesuatu yang dianggap menghina kepercayaan atau iman seseorang, sekecil apapun,bisa mengakibatkan kekerasan dan destruksi dalam skala yang luar biasa besar. Dalam hal ini yang terpenting bukan hanya penekanan bagi para agamawan bahwa kekerasan aktif tanpa perlawanan dalam bentuk apapun dengan alasan apapun tidak dibenarkan, tetapi juga negara harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meskipun kekerasan itu dilakukan atas nama agama.
            Kedelapan, tidak adanya atau kurang berkembangnya wadah komunikasi antar agama. Walaupun di Indonesia sudah didirikan beberapa LSM lintas agama, yang aktif berpartisipasi hanyalah mereka yang punya keyakinan akan pentingnya pluralisme. Mereka terdiri dari para kelompok terdidik yang sudah setuju dari awal akan pentingnya kerukunan antar umat beragama dan bukan sebagian besar pengikut dan pimpinan agama. Bahkan ada ketidakjujuran dari beberapa pemimpin agama yang turut dalam dialog antar agama, yaitu beberapa dari mereka yang cukup getol mengumandangkan pluralisme dan toleransi dalam forum antar umat agama, akan tetapi tidak mengampanyekan hal yang sama dalam kelompok agamanya sendiri. Oleh karena itu penting sekali mengampanyekan dialog antar agama dan ketulusan dalam berpartisipasi di dalamnya.
            Sembilan, Pemimpin dan Masyarakat agama cenderung menekankan pentingnya fikih dari pada akhlak, religiuous purification dari pada religious compassion. Sehingga pengajaran agama dan praktek kehidupan beragama bukan hanya cenderung vertikal dan kurang horizontal, tetapi juga tidak sensitif dan kurang aktif mengatasi masalah mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kecenderungan seperti ini masyarakat agamawi cenderung memikirkan pengalaman ritus keagamaan termasuk bagaimana bisa masuk surga dan bukan bagaimana secara tulus ikhlas menciptakan kedamaian, pengorbanan yang penuh kasih sayang dan menyejahterakan kehidupan seluruh umat manusia dan bukan dirinya sendiri maupun kelompoknya sendiri.[9]
            Terakhir, Dalam hal ini kesenjangan ekonomi, politik, dan budaya harus betul-betul mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Di sisi lain, pendekatan inklusif harus ditingkatkan menjadi pendekatan yang pluralis. Pluralisme tidak mengandaikan bahwa semua perbedaan harus difusi dalam satu identitas tunggal, seperti proyek “budaya nasional” atau identitas nasionalnya Orde Baru. Semua perbedaan harus mendapatkan tempat pengakuan dalam kehidupan publik. Perbedaan tidak hanya harus diakui, melainkan juga diangkat dan dirayakan. Pluralisme tidak harus mencari titik temu persamaan, sebab perbedaan adalah keniscayaan/sunnatullah. Yang lebih signifikan untuk dilakukan adalah bagaimana hidup damai dalam perbedaan.[10]
            Tidak Mudah mengatasi masalah-masalah tersebut dalam era reformasi yang masih penuh ketidakpastian di Indonesia, Namun penulis yakin, apabila kesepuluh poin di atas bisa diatasi dan/atau dihindarkan, atau paling tidak direduksi/diperbaiki, maka konflik akan dapat ditanggulangi dan diselesaikan, dan perdamaianpun bisa diciptakan.


[1] Fachroeddin Al- Kahiri, Islam Menoeroet Faham Filosofie, Choetbah di radio V.O.R.L., (Bandoeng : kemajoean Islam Djokdjakarta, 1938), hal. 6.
[2] Bahrum Rangkuti, Jalan kepada Al-Qur’an & Bahasa Arab, diktat ceramah, no. 2, Th. 1, Kebayoran Baru, 10-6-’68.
[3] A. Mukti Ali, Agama, Universitas, dan Pembangunan, (Bandung: Badan Penerbit IKIP,1971), hal. 4.
[4] Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme: Etika Al-Qur’an tentang keragaman Agama, (Jakarta: R.M. Books, 2007), hal.1
[5] Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan, 2006), hal. 2707.
[6] Hendar Riyadi, op.cit., hal. 59.
[7] Muundzirin Yusuf, dkk., Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. 30.
[8] Abdul Kadir Riyadi, Muhammad Fauzinuddin, dkk., Bilik-bilik Islam, Renungan dari Lorong Rusunawa Pesantren, (Surabaya: Imtiyaz Press, 2012), hal. 79.
[9] Peter Suwarno, dkk. Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, dari Konflik Agama hingga Mediasi Peradilan, (Semarang: WMC IAIN Walisongo Semarang, 2007), hal. 22-26
[10] Abdul Kadir Riyadi, Muhammad Fauzinuddin, dkk., op.cit., hal. 81.