Wednesday, May 25, 2011

Dimanakah ALLAH tinggal ???

Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala Rosulillah amma ba’du.
Pada kesempatan ini, sengaja saya pilih judul tersebut agar sama-sama kita bisa kritis terhadap pernyataan “Allah Ta’ala Ada Tanpa Tempat & Tanpa Arah,” benarkah demikian atau sebaliknya? Atas dasar itulah catatan ini dibuat dan sebagai perwujudan terhadap tanggungjawab dakwah sebatas kemampuan dari keterbatasan yang saya miliki.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata “Jika kamu diam dalam perkara ini dan saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang bodoh mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)
Ada pendapat yang menyatakan bahwa sebelum Allah Ta’ala menciptakan Arsy dan langit, Allah Ta’ala ada tanpa keduanya, dan setelah menciptakan Arsy dan langit, maka Allah Ta’ala tidak berubah menjadi berada pada keduanya, sebab berubah itu merupakan tanda makhluk. Sehingga , dikatakan Allah Ta’ala ada tanpa tempat dan tanpa arah.

Hal tersebut di atas merupakan pokok bahasan pada penjelasan berikutnya tapi terlebih dulu kita perhatikan di mana Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al Maidah : 3)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : “Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka Shalawatullahi wasalaamu alaihi. (Lihat Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma’rifat).

Inipun dipersaksikan para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu’anhu, menyebutkan : “Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami.” Abu Dzar melanjutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).

Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah) yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Kusempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Lihat Al I’tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)


1. ‘Arsy (Singgasana) Dan Istawa

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa ‘Arsy Allah dan Kursi-Nya adalah benar adanya di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mu’minuun: 116]

Juga firman-Nya: “Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia.” [ Al-Buruuj: 15]

‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. ‘Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk. [Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 366-367), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat-Malaikat Allah Azza wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4727), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu, sanadnya shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 151)]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” [HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu 'anhu . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/223 no. 109)]

Adapun tentang Kursi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” [Al-Baqarah : 255]

Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman Allah Ta’ala tersebut, beliau berkata:

“Kursi adalah tempat meletakkan kaki Allah, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Allah Ta’ala. [Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 12404), al-Hakim (II/282) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368-369)]

Sedangkan Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian).

Istiwa yang dimaksud disini adalah pada hakikatnya dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha. Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan: “Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)

2. Sebelum Allah Ta’ala Menciptakan Arsy Dan Langit, Allah Ta’ala Ada Tanpa Arsy Dan Langit

Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala :

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy.” (As-Sajdah: 4)

Firman-Nya yang lain :

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.” (Yunus: 3)

Hadits riwayat Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:

“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)

Hadits lainnya dari Abu Hurairah Radiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:

“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan tentang hadits di atas, “Dengan demikian Allah bersemayam di atas ‘Arsy setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Sebelum itu Dia tidak bersemayam di atas ‘Arsy. [Majmu' Al-Fatawa jilid V halaman 522]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berpendapat bahwa bersemayamnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus, bukan bersemayam secara umum seperti dilakukan oleh para makhluk. Maka dari itu tidak sah dikatakan istawa ‘ala al-makhluqat (bersemayam di atas makhluk-makhluk) atau di atas langit atau di atas bumi karena Dia terlalu mulia untuk itu. Selanjutnya beliau rahimahullah menjelaskan mengenai ‘Arsy bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Kata istawa lebih khusus daripada kata ‘uluw yang mutlak, maka dari itu bersemayamnya Allah Ta’ala di atas singgasana-Nya termasuk sifat-sifat-Nya yang fi’liyah berkaitan dengan kehendak-Nya, lain halnya kata ‘uluw, itu termasuk sifat-sifat dzatiyah-Nya, yang tidak lepas darinya. [Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm 85 – 86]

3. Setelah Menciptakan Arsy Dan Langit, Maka Allah Ta’ala Tidak Berubah Menjadi Berada Pada Keduanya, Sebab Berubah Itu Merupakan Tanda Makhluk.

Kaidah ini jelas tidak memiliki pijakan yang kuat, sekalipun itu ada tentunya akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafush Shalih yang Shahih dan Sharih. Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwa setelah Allah Ta’ala mencipta Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya, adapun pendapat yang menyatakan sebaliknya jelas itu tertolak.

Allah Ta’ala berfirman :
Mereka (para malaikat yang di langit) takut pada Tuhan mereka yang ada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.” [QS. An-Nahl: 50]
Ayat di atas juga membantah apabila yang ada di langit itu hanya malaikat. Selain itu, firman Allah Ta’ala lainnya : “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” [QS. Al-Ma’arij: 4]
Dalil lainnya bahwa Allah Ta’ala bersemyam di atas ‘Arsy yang menyatakan Kemahaketinggian (al-’Uluw) Allah dan keberadaan-Nya di atas langit adalah peristiwa Isra’-Mi’raj, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam naik bersama Jibril ‘alaihissalam menembus langit dunia, terus naik sampai langit ke tujuh dan Sidratul Muntaha. Kemudian beliau menghadap Allah Ta’ala untuk menerima perintah sholat. Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menceritakan:
“(Artinya) Maka aku menemui Tuhanku Yang Maha Suci dan Maha Tinggi sementara Dia berada di atas ‘Arsy-Nya”. [lihat Mukhtasar al-‘Uluw hal. 87]

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :
“(Artrinya)Tidakkah kalian percaya kepadaku, padahal aku ini adalah kepercayaan yang ada di langit (yaitu Allah)”. [HR. Bukhari no.4351 Kitabul Maghazi; Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]

Di antara ucapan para Salaf tentang hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al Auza’i Rahimahullah: “Sesungguhnya kami dan para Tabi’in sepakat mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya serta kami mengimani semua hal yang berkaitan dengan sifat Allah sesuai dengan nashnya” (Atsar ini Shahih, dikeluarkan oleh imam Al Baihaqi di dalam kitabnya Al Asma was Shifat hal. 408, dan Imam Adz Dzahabi di dalam kitab Mukhtasar Al ‘Uluw lil Aliyyi Al Ghaffar hal.138).

Dalam hal ini Imam Syafi’I Rahimahullah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya. Beliau mengatakan: “…Sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya…” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya Adab As Syafi’i wa Manaqibuh hal. 93). Beliau (Imam Syafi’i) juga berkata: “Kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq adalah haq (benar), telah diputuskan oleh Allah dari atas langit-Nya.” [Lih. Manhaj al-Imam asy-Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah hal. 456]

Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.” Kemudian beliau Rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.” Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 372), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.

Berkata Muhammad bin Ishak ibnu Huzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernyaك dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (pampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid : “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim.” [HR.Bukhari Muslim, lihat juga Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47]
Sebagai penutup mari kita timbang kembali pendapat yang menyatakan Allah Ta’ala ada tanpa tempat dan tanpa arah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafush Shalih yang Shahih dan Sharih. Saya minta maaf jika dalam catatan ini terdapat kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan. Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, keluarga, shahabat, dan seluruh umat Islam.
By: Muhammad Fauzinuddin, Mahasantri Supel Surabaya

Monday, May 23, 2011

BAGAIMANA ALLAH MENYIKSA MANUSIA SEDANG ITU SUDAH DITENTUKAN ALLAH

Akhir-akhir ini ada polemik yang dirasakan sebagian manusia, yaitu "bagaimana Allah akan menyiksa manusia karena maksiat, padahal telah Dia takdirkan hal itu atas manusia?"
Untuk menjawab pertanyaan itu, disini saya ingin mengemukakan beberapa asumsi saya sbb:
Sebenarnya hal ini bukanlah polemik. Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan : "Lakukanlah perbuatan munkar itu", akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri. Allah telah berfirman yang artinya:
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang
 benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur" [Al-Insan : 3].
Maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal Ilzam, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama. Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan. Yang pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu. Maka pastilah anda akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin anda memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan : "Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua). Dengan demikian, apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya anda lakukan dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang menyalahi syara' dan amal shalih yang berupa amal-amal yang sesuai dengan syara'. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan yang baik, mengapa anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat. Karena itu, seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana anda harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam.

Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman
yang artinya:
"Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok" [Luqman : 34]

Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. Oleh karena itu, sebagian ulama' mengatakan : "Sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup". Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi. Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk kita.

Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut. Disebutkan dari Amirul Mu'minin, Umar bin Kahtthab, sebuah kisah (mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan : "Tunggu dulu hai Amirul Mu'minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah". Umar mengatakan : "Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah". Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam. Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari'at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.

Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma'siyat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas. Allah berfirman
:
"Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul" [An-Nisa : 165]

Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya. Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma'siyat dengan alasan Qadha' dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya.

 By: Muhammad Fauzinuddin, Mahasantri Supel Surabaya

~Jodoh, benarkah sebuah takdir?~

Tanya:
Bagaimana syara’ memandang masalah jodoh? Apakah jodoh merupakan bagian dari Qadha’ (takdir) yang telah ditetapkan Allah sejak Zaman Azali ataukah ia muamalah biasa sebagaimana jual beli perkontrakan dan sejenisnya? Bagaimana menyikapi ungkapan yang populer di masyarakat bahwa rezeki, ajal dan jodoh semuanya ditangan Tuhan,dan manusia hanya bisa mengusahakan, sementara keputusan akhir tetap di tangan Allah?



Jawab:
Lafadz “jodoh” adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjuk makna tertentu. Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri, pasangan hidup atau yang semisal dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus bahasa Indonesia adalah “pasangan yang cocok” baik bagi laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang lebih spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan. Para Fuqaha’ ketika membahas hukum pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni istilah-istilah yang berkonotasi “netral” tanpa ada penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan hidup dalam bahasa Indonesia.
Adapun makna jodoh yang menjadi topik diskusi di sini adalah “orang atau individu tertentu yang akan menjadi pasangan hidup kita”, dengan titik diskusi: Apakah Allah telah menentukan dalam Lauhul Mahfudz, sebelum manusia dilahirkan bahwa ia akan dipasangkan dengan individu tertentu ataukah tidak? Artinya apakah Allah sudah mentakdirkan dalam Azal bahwa A akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan D, ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan studi yang mendalam terhadap nash-nash yang terkait dengan topik tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang ditunjuk keduanya seraya mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa, dsb.
Hanya saja, pembahasan tentang jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan keimanan bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal, sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah hal yang lain. Masing-masing adalah topik tersendiri yang harus dibahas berdasarkan nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampur adukkan dua topik pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan dengan fakta pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap pemahaman. Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan.
Tinjauan sekilas terhadap persoalan jodoh menunjukkan bahwa persoalan ini adalah termasuk masalah aqidah, sebab kepercayaan bahwa Allah mentakdirkan A berpasangan dengan B, C berpasangan dengan D, atau Allah tidak mentakdirkan itu adalah jenis keyakinan, bukan amal. Efek pembahasan yang paling akhir adalah membentuk keyakinan tertentu seputar persoalan tersebut, bukan membahas apa yang harus dikerjakan oleh seorang mukallaf. Dengan demikian masalah jodoh adalah masalah aqidah, bukan syariat dan dalam masalah ini pambahasan tersebut tidak ada bedanya dengan pembahasan tentang rezeki, ajal, Dajjal, siksa kubur, dsb.
Dalam persoalan aqidah, seorang Muslim harus mendasarkan semua kepercayaannya atas dalil yang shohih. Tidak diperkenankan seorang Muslim memiliki keyakinan tanpa ada dalil., yakni sekedar menduga-duga atau mengikuti umumnya kata orang. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) (pasti), tidak boleh bersifat ( ظَنِّيٌّ ) (dugaan). Meskipun ada Qorinah (indikasi) yang menunjukkan pada keyakinan tertentu, selama dalil itu bersifat ( ظَنِّيٌّ ) tidak boleh seorang Muslim mengambilnya sebagai aqidah. Allah telah mencela keras orang-orang kafir yang memiliki keyakinan bahwa para Malaikat itu berjenis kelamin wanita:
“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”(An-Najm;27-2
artinya orang-orang kafir itu punya keyakinan bahwa Malaikat berjenis kelamin wanita tetapi mereka tidak memiliki bukti (dalil) atau argumentasi untuk menguatkan keyakinannya.
Keyakinan mereka hanya didasarkan pada dugaan ( ظَنٌّ ), padahal dzon itu sama sekali tidak ada nilainya untuk membuktikan ( الْحَقُّ )
Dari sini bisa difahami, bahwa langkah yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan maknanya).
Setelah dilakukan kajian terhadap persoalan ini, nyatalah bahwa tidak ada nash baik dalam al-Qur’an mapun as-Sunnah, juga Ijma’ sahabat dan Qiyas yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan calon pasangan seseorang. Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan bahwa persoalan ini adalah masalah mu’amalah biasa yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Artinya persoalan menentukan pasangan hidup adalah hal yang bersifat pilihan, yang manusia bertanggung jawab di dalamnya dan dihisab atasnya. Dalil yang menunjukkan bahwa menentukan pasangan hidup adalah pilihan manusia adalah:
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;4).
Lafadz ( فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ ) begitu jelas menunjukkan bahwa setiap Muslim dipersilahkan memilih calon istrinya. Alasannya, ketika Allah memubahkan untuk menikahi wanita-wanita yang ( طَابَ ) (manis, enak, lezat, menyenangkan) bagi mereka, dan tidak mencela lelaki yang tidak mau menikahi wanita karena merasa kurang mantap, baik karena fisik maupun sifatnya, ini semua menunjukkan bahwa persoalan ini adalah persoalan pilihan ( اخْتِيَارِيٌّ ) bukan Qadha’.
Dalil lain yang mendukung adalah kenyataan bahwa syara’ memberikan hak menentukan calon suami sebagai hak penuh kaum wanita, yang tidak boleh ada intervensi dari siapapun meski itu ayah, ibu, paman, musyrif, atau khalifah sekalipun.
عن بن بريدة عن أبيه قال جاءت فتاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت ثم إن أبي زوجني بن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى الآباء من الأمر شيء. (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku. Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya hak dalam urusan ini. (H.R.Ibnu Majah dan An-Nasa’i)
Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
Dalil lain yang mendukung adalah adanya syari’at talak. Talak adalah pembubaran akad nikah. Syari’at talak memungkinkan seseorang yang menjadi pasangan hidup orang lain untuk berpisah pada satu waktu tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu mustahil dikatakan bahwa seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika ternyata syara’ memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.
Lebih dari itu studi terhadap akad-akad yang diatur dalam syari’at Islam menunjukkan bahwa semua akad yang disana terdapat Ijab dan Qabul adalah mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Dengan demikian jual-beli, Ijarah, Wakalah, Syirkah, dan semisalnya adalah termasuk perkara mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Manusia akan dimintai pertanggung jawaban dalam aktivitas itu. Jika ia melakukan jual-beli, Ijarah, Wakalah, dan Syirkah, dengan cara yang syar’i maka ia bebas dari hukuman, tetapi jika ia melakukannya dengan cara batil maka ia akan dijatuhi hukuman. Demikian pula masalah menentukan pasangan hidup. Jika seorang wanita Muslimah memutuskan menikah dengan orang kafir maka ia akan dihukum, sebaliknya jika ia menikah dengan lelaki yang dihalalkan syara’ maka ia bebas dari hukuman.
Adapun ayat yang berbunyi
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (Ar-Rum; 21)
“Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan” (An-Naba’:
juga termasuk ayat-ayat yang semisal dengannya, maka ayat ini sama sekali tidak terkait dengan masalah jodoh, dan tidak ada Qorinah apapun yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan A menikah dengan B, C menikah dengan D, baik secara ( صَرَاحَةٌ ) (jelas) maupun ( دَلاَلَةٌ ) (penunjukan makna). Tidak hanya itu, secara Manthuq dan Mahfum ayat ini tidak bisa difahami sebagai ayat jodoh, sebab Sighot (redaksional) ayat serta ( مَوْضُوْعٌ ) (topik pembahasan) memang tidak menunjuk ke arah sana. Maksud dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan tidak lain adalah bahwa manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang dengannya Allah memperkembangbiakkan spesies manusia di muka bumi, bukan ditetapkannya bahwa A akan menikah dengan B atau C akan menikah dengan D.
Adapun ayat yang berbunyi Khobitsat adalah untuk Khobitsun, dan Khobitsun adalah buat Khobitsat (pula), dan Thoyyibat adalah untuk Thoyyibun dan Thoyyibun adalah untuk Thoyyibat (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) (An-Nur; 26)
maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab As-babun Nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas Aisyah yang diisukan berbuat serong dengan seorang sahabat yang bernama Shofwan bin Mu’ath-thol. Karena itulah para mufassirin ketika menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini adalah ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang hatinya ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan wanita shalih dan lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah. Karena itu wajar jika diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s beristri wanita yang tidak shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang shalihah bersuami Fir’aun yang kafir. Hal ini dikarenakan urusan pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang telah ditetapkan sebagai mana rizki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan sebagai dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Allah telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.
Dari sini bisa difahami, bahwa jodoh bukanlah perkara yang sudah ditetapkan di Lauhul Mahfudz, tetapi ia adalah mu’amalah biasa sebagaimana mu’amalah yang lain, yang berada di area yang dikuasai manusia dan manusia dihisab atasnya.
Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu yang berada dalam area yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ ) yang Maha Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam area yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya dan di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan mengimani bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur.
Sebagai contoh: Seorang Muslim hendak naik haji dan sudah menyiapkan semua biaya dan bekal kemudian secara tiba-tiba Allah memberinya sakit. Pada kondisi ini, harus difahami bahwa melaksanakan ibadah haji adalah wilayah yang dikuasai manusia, tetapi pemahaman ini harus disertai keyakinan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ). Dengan demikian ia menjadi ridlo terhadap segala apa yang menimpanya, karena semua itu berada diluar kuat kuasanya.
Demikian pula dalam persoalan pasangan hidup. Memilih siapapun yang akan menjadi pasangan hidup semuanya adalah perkara (اخْتِيَارِيٌّ), akan tetapi terkait dengan kesepakatan, ini adalah masalah lain. Seorang dalam memutuskan sesuatu boleh jadi Allah mencondongkan pada suatu keputusan tertentu, boleh jadi membiarkannya. Sebab Allah adalah Dzat yang kuasa membolak-balikkan hati manusia. Namun ketika Allah mencondongkan pada suatu keputusan, bukan berarti Allah memasangkan X dengan Y atau P dengan Q sejak zaman Azali, alasannya orang masih punya pilihan mutlak untuk memutuskan hatta terhadap sesuatu yang berlawanan sama sekali dengan kehendaknya. Karena itu keimanan yang harus dimiliki adalah keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) secara mutlak, baik pada area yang dikuasai manusia maupun yang tidak dikuasai manusia, bukan keimanan bahwa Allah telah menetapkan dalam Lauhul Mahfudz bahwa A dipasangkan dengan B atau C dipasangkan dengan D.
Atas dasar ini semua pemahaman yang belum sesuai dengan nash-nash syara’ sesegera mungkin harus dikoreksi. Tidak boleh menjadikan alasan kemaslahatan misalnya: “cara ini cukup efektif untuk menghentikan orang dari pacaran” untuk mengadopsi pemahaman yang keliru tentang jodoh. Alasannya hal ini adalah persoalan hukum syara’ bukan persoalan uslub dakwah yang masih mungkin dipilih uslub yang paling tepat.
Wallahu A'lam.

Posted by: Muhammad Fauzinuddin, Mahasantri Supel Surabaya

Sunday, May 22, 2011

Hukum Bersetubuh di Waktu Sahur

Ada seorang Fulanah yang baru Zawaj (Menikah) bertanya tentang hukum bersetubuh diwaktu sahur,
Fulanah: Akhie, kalau suami-isteri bersetubuh sebelum sahur dan melakukan mandi janabahnya setelah memasuki sholat subuh, apakah dibolehkan?




 Jawaban:

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hubungan seksual diharamkan pada saat kita sedang dalam keadaan berpuasa. Bila hal itu dilakukan di dalam puasa Ramadhan, selain membatalkan puasa, juga pelakunya terkena kaffarat.
Makna kaffarat adalah denda karena pelanggaran kesucian bulan Ramadhan. Bentuknya ada tiga level. Pertama, diwajibkan untuk membebaskan budak. Kedua, diwajibkan untuk berpuasa 2 bulan berturut-turut. Ketiga, diwajibkan untuk memberi makan fakir miskin sejumlah 60 orang.
Namun bila hubungan suami-isteri itu dilakukan di luar jam-jam kewajiban puasa, walau beberapa menit menjelang waktu shubuh, atau beberapa menit setelah masuknya waktu Maghrib, hukumnya halal.
Karena batas waktu puasa sejak mulai masuknya waktu Shubuh, bukan imsak, hingga masuknya waktu Maghrib. Sedangkan di luar kedua waktu itu, tidak wajib puasa. Sehingga boleh saja bila melakukan hal-hal yang diharamkan saat berpuasa.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah: 187)
Masalah mandi janabah yang anda tanyakan, sebenarnya tidak menjadi masalah. Sebab syarat puasa itu berbeda dengan syarat shalat. Kalau shalat membutuhkan syarat berupa kesucian dari hadats kecil dan hadats besar, maka ibadah puasa justru tidak mensyaratkan keduanya.
Sehingga boleh-boleh saja seorang yang sedang dalam keadaan berhadats besar (janabah) untuk berpuasa, dengan melewati waktu shubuh dalam keadaannya seperti itu. Dalam kata lain, seseoran yang belum mandi janabah lalu melewati waktu shubuh dalam keadaan itu, hukum puasanya tetap sah.
Tinggal yang harus dikerjakan adalah bahwa dia tetap wajib melakukan shalat shubuh. Dan shalat shubuhnya mensyaratkan kesucian dari hadats besar dan hadats kecil sekaligus. Sebelum waktu shubuhnya selesai, dia harus sudah mandi janabah dan selesai mengerjakan shalat shubuh.
Kebolehan masih melakkukan hubungan suami-isteri di saat-saat sahur ini juga harus dilakukan dengan hati-hati, serta dengan sangat memperhatikan masuknya waktu shubuh. Sebab bila keasyikan dan lupa waktu, lalu masih melakukannya padahal shubuh sudah masuk waktunya, maka akibatnya bukan hanya puasanya yang batal, tetapi juga terkena denda (kaffarat) yang lumayan berat. Karena itu pesan kami, boleh dilakukan tapi hati-hati dan ingat waktu.
Ingat bahwa anda melakukannya pada waktu injury time, jadi watch out!
Wallahu a’lam bishsawab.

Muhammad Fauzinuddin, S.Hi

Hukum Membawa AL QUR'AN DIGITAL KeDalam Toilet

Sekarang banyak aplikasi Handphone maupun hardware seperti MP3, Alqur'an reader, dan yang sejenisnya dijual dipasaran dengan maksud untuk mempermudah ummat Islam yang ingin membaca, menghafal atau mentadaburi AlQur'an. 


Tentu saja kita menyambut baik hal ini, akan tetapi Handphone yg didalamnya ada aplikasi Alqur'an ini apabila kita ada diluar rumah dan kita perlu ke toilet tentu saja dibawa masuk ke toilet sehingga ada satu pertanyaan yang sering mengganggu kita yaitu :

BAGAIMANA HUKUM MEMBAWA AL QUR'AN DIGITAL KEDALAM TOILET ?

Terjadi perbedaan dikalangan ulama tentang hukum membawa al Qur’an ke kamar mandi atau toilet namun kebanyakan dari mereka mengharamkannya.

Sedangkan membawa sesuatu yang terdapat tulisan nama Allah atau sesuatu dari ayat Al Qur’an ke kamar mandi atau toilet adalah makruh sebagaimana pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa makruh memasuki kamar mandi / toilet dengan membawa dirham yang diatasnya terdapat dzikrullah atau sesuatu dari ayat-ayat Al Qur’an, demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Hanafi, Syafi’i maupun Malik, apabila dirham-dirham itu terbuka atau tidak tertutupi akan tetapi apabila dirham itu tertutupi maka tidaklah makruh, ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hani’.

Didalam “al Bahr ar Raqiq”, madzhab Hanafi, disebutkan bahwa makruh bagi seseorang memasuki toilet dengan memakai cincin yang terdapat tulisan nama Allah diatasnya atau sesuatu dari ayat-ayat Al Qur’an.

Al Mardawi didalam “al Inshaf”, madzhab Hambali, mengatakan aku pernah melihat Ibnu Rajab menyebutkan didalam Kitab “Al Khawatim” bahwa Ahmad menyebutkan hal itu makruh. Didalam riwayat Ishaq bin Rohuyah mengatakan tentang dirham ahwa apaila diatasnya terdapat nama Allah atau suatu tulisan (seperti : قل هو الله أحد ) maka makruh membawa masuk nama Allah kedalam toilet.

Adapun membawa kaset-kaset (termasuk HP atau yang sejenisnya) yang mengandung surat-surat Al Qur’an ke dalam kamar mandi atau toilet maka tidaklah masalah karena hal itu tidak termasuk didalam apa yang dibicarakan para ulama diatas tentang dimakruhkan membawa sesuatu dari dzikrullah atau ayat-ayat Al Qur’an ke dalam kamar mandi dikarenakan tidak tampaknya huruf-huruf (baik nama Allah maupun ayat Al Qur’an) diatasnya.


Akan tetapi apabila di atas kaset atau HP itu terdapat sesuatu dari dzikrullah atau ayat Al Qur’an maka dimakruhkan baginya untuk dibawa ke dalam kamar mandi atau toilet karena hal itu termasuk didalam pelecehan terhadapnya kecuali apabila si pemiliknya khawatir apabila ditinggal di luar kamar mandi / toilet ia akan hilang.

Saturday, May 21, 2011

Puisi: "Rasulullah Muhammad ku"

Sayup-sayup suara takbir mengalun . . . . . 
Tahlil, Tamjid, dan Tasbih menggelegar . . . . 
Bersama gemuruh ribuan Malaikat . . . . . . .
Yang menyertaimu yaa Rasulullah . . . .
Menurut Para Penjudi, Pemabuk dan Penyamun, Dimana Muballigh dianggap tukang jamu . . . .
أستغفر الله

Lantunan Suaranya dianggap liar . . . . .
 الله أكبر
Gema ayat-ayat yang dibacanya dianggap kampungan . . . 
ما شاء الله

Kini kau berdiri kokoh . . . .
Diatas panji-panji  islam . . .

Tegakkan kebenaran . . .
     Menyongsong kejayaan . . .
   Menuju kebahagian  . . . . .
Dunia . . . .  . . .  . . . . . . . . . . . . . . .Akhirat . . . .

By: Muhammad Fauzinuddin, Mahasantri Supel Surabaya

WAJIBKAH SHALAT JUM'AT PADA HARI RAYA?

Hari raya idul fitri yang kemrin, jatuh pada hari Jum’at. Sebagaimana pada hari raya idul adha yang lalu yang juga jatuh pada hari Jum’at. Ada sebuah persoalan yang selalu menjadi materi pertanyaan dan pembicaraan ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’at masih dihukumi wajib?
Menjawab pertanyaan tersebut, ada tiga pendapat di kalangan ulama madzhab empat.
Pertama, pendapat madzhab al-Syafi’i yang mengatakan, bahwa ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka penduduk kampung yang mendengar panggilan shalat id boleh pulang dan meninggalkan shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan shalat Jum’at tersebut berlaku, ketika mereka mengikuti shalat hari raya, dan seandainya mereka pulang ke rumah mereka, maka mereka tidak akan dapat mengikuti shalat Jum’at. Kebolehan meninggalkan shalat Jum’at bagi mereka semata-mata karena rukhshah, keringanan dan dispensasi. Oleh karena itu, ketika penduduk desa itu tidak menghadiri shalat id, maka mereka jelas wajib menghadiri shalat Jum’at. Disamping itu, kebolehan penduduk desa itu meninggalkan shalat Jum’at, disyaratkan pulang dari shalat id itu sebelum masuk waktunya Jum’at, yaitu waktu zhuhur. Demikian pendapat golongan Syafi’iyah.
Kedua, pendapat madzhab Hanafi dan Maliki. Menurut kedua madzhab ini, apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id tetap tidak dibolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Al-Imam al-Dusuqi berkata, baik mereka yang menghadiri shalat id di kampungnya atau di luar daerahnya.
Ketiga, pendapat madzhab Hanabilah. Menurut madzhab Hanbali, apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka orang yang menghadiri shalat id dan melakukan shalat zhuhur, boleh meninggalkan shalat Jum’at, dalam artian shalat Jum’at gugur bagi orang tersebut. Menurut golongan Hanabilah, gugurnya shalat Jum’at itu hanyalah gugurnya menghadiri Jum’at, bukan gugurnya kewajiban Jum’at. Sehingga posisi orangyang menghadiri shalat id itu sama dengan orang-orang yang punya uzur seperti orang sakit, atau punya kesibukan yang membolehkan meninggalkan shalat Jum’at. Namun kewajiban shalat Jum’at tidak gugur bagi orang tersebut, dalam artian, orang itu dapat menjadi sebab sahnya shalat Jum’at dan sah menjadi imam Jum’at. Akan tetapi menurut golongan Hanabilah ini, menghadiri shalat Jum’at jelas lebih utama. Walahu a’lam. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 27, hal. 208).

Friday, May 20, 2011

KENAPA AKU ISLAM . . . .???


Belum lama ini, ada seorang Dosen filsafat (namanya:Bpk Yayan)  mengajukan pertanyaan kepada saya,” KENAPA ANDA ISLAM’’???? Bagi saya pribadi, pertanyaan seperti itu bisa dijawab dengan dua cara, yaitu dengan jawaban singkat atau jawaban panjang.
            cara pertama, saya cukup mengatakan: “Saya memeluk Islam karena menurut saya Islamlah agama yang paling benar.” Just it!! Tetapi apakah jawaban seperti itu bisa diterima semua orang? Tentu  tidak, apalagi bagi orang yang lebih mengedepankan logika daripada keyakinan. Bila dijawab dengan jawaban panjang, bagi saya jawaban untuk pertanyaan seperti itu mungkin tidak bisa seluruhnya dimuat oleh kertas putih  ini yang kapasitasnya sangat terbatas. Tentunya ini bukan omong kosong belaka. Sebab, meskipun pertanyaan tersebut sangat singkat dan hanya terdiri dari tiga kata, tetapi ia merupakan pertanyaan yang sangat mendasar dan terkait dengan sejumlah hal, terutama bagi orang yang memeluk Islam bukan hanya karena faktor keturunan, melainkan karena adanya faktor spiritual yang melatarbelakanginya. Saya yakin, setiap orang akan memberikan jawaban yang intinya sama tetapi dengan ulasan yang berbeda-beda.

Di kalangan umat Islam, memang tidak sedikit orang yang memeluk Islam hanya karena faktor keturunan saja. Artinya, dia beragama Islam karena kedua orangtuanya atau salah satunya beragama Islam, sehingga dia ikut menjadi pemeluk salah satu agama samawi tersebut. Ketika ditanya mengapa memeluk Islam, mungkin mereka hanya menjawab: “Memang sudah dari sono-nya begitu.”

Tetapi tidak sedikit pula orang yang memeluk agama Islam karena faktor pengalaman spiritual tertentu atau karena faktor pemahamannya terhadap Islam. Biasanya mereka memiliki komitmen keagamaan yang lebih tinggi dibanding kelompok pertama. Karena faktor keterbatasan, di sini saya hanya akan menjawab pertanyaan tersebut dari satu sisi saja. Mungkin saudara-saudara sekalian yang ingin memberikan kontribusi (komentar) bisa menambahkan dari sisi yang lain.

Terus terang, sebelum mempelajari Islam lebih dalam, saya memang termasuk kelompok pertama yang hanya memeluk Islam karena faktor keturunan saja. Tetapi setelah mendalami ilmu-ilmu Islam, terutama ilmu tafsir Al-Qur`an, saya semakin yakin bahwa hanya Islamlah agama yang benar di muka bumi ini. Belum lagi dengan pengalaman spritual dan pengalaman hidup saya yang tidak akan saya ceritakan di sini.

Mungkin alasan yang akan saya sampaikan hampir sama dengan apa yang baru saja disampaikan oleh seorang wanita Katolik yang telah memeluk Islam, seperti dimuat di situs Republika Online (www.republika.co.id). Kutipannya sebagai berikut:

“Saya mulai membaca Al-Quran dan mencari informasi tentang Islam melalui internet. Saya ingat apa yang saya rasakan saat pertama kali membaca Al-Quran insting saya mengatakan itu bukan buatan tangan manusia; Al-Quran di luar kemampuan manusia. Hal ini bebeda sekali dengan yang saya rasakan saat membaca Al-Kitab, saya merasa hanya kumpulan cerita yang ditulis oleh seorang laki-laki. Belum lagi fakta bahwa Al-Quran hanya ada satu versi yang tidak berubah sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, itu bukanlah satu-satunya yang membuat saya kagum.

Saya merasa nyaman dengan semua yang saya pelajari tentang Islam. Hal inilah yang mendorong saya untuk lebih mendalami Islam. Yang terpenting, saya telah menemukan jawaban atas dua masalah utama agama di masa lalu (hanya mau menyembah satu Tuhan dan aturan jelas). Islam merupakan agama tauhid yang mana umat Islam hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Umat Islam juga wajib mengikuti Al-Quran dan Sunnah juga yang memberikan aturan dan cara hidup yang lengkap. Akhirnya, saya tahu persis apa yang saya harus lakukan untuk menjadi seorang Kristen yang baik, yakni saya harus menjadi seorang Muslimah.” Untuk memabaca selengkapnya kisah wanita tersebut, klik: http://www.republika.co.id/berita/64102/Dari_AS_ke_Mesir_Wanita_Katolik_Menemukan_Islam

Ya, alasan seperti itu sangat masuk akal. Sebab, bila seseorang benar-benar mendalami dan menghayati Al-Qur`an, maka saya yakin kesimpulan yang sama akan diperolehnya. Yaitu, bahwa Al-Qur`an yang menjadi Kitab Suci bagi umat Islam bukanlah rekayasa tangan manusia, atau buatan Nabi Muhammad. Al-Qur`an tidak mungkin hasil karya manusia, apalagi Nabi Muhammad yang dikenal sebagai orang yang ummi (buta huruf). Banyak faktor yang menyebabkan kita harus mengambil kesimpulan seperti itu. Dalam kajian Ilmu Tafsir atau Ulumul Qur`an, hal-hal tersebut disebut dengan i’jaazul Qur`an (kemukjizatan Al-Qur`an) yang memiliki beberapa segi, baik dari segi keindahan bahasanya, kehebatan maknanya, ataupun dari segi-segi lainnya. Kemukjizatan Al-Qur`an ini akan terus ada dan akan tetap terjaga sampai kapanpun.

Salah satu segi kemukjizatan Al-Qur`an itulah yang menyebabkan Umar masuk Islam. Padahal, sebelumnya Umar dikenal sebagai orang yang sangat anti terhadap Islam. Bahkan, dia pernah berniat membunuh Nabi Muhammad saw.. Baca selengkapnya di link berikut: http://mediasilaturahim.com/?p=548

Mudah-mudahan penjelasan di atas dapat bermanfaat….Bila ada yang ingin memberikan komentar, tanggapan ataupun pemikiran, saya persilahkan. Tetapi dengan catatan, tetap menjaga nilai-nilai kesopanan yang dapat menunjang ukhuwah (persaudaraan) di antara umat Islam. Wallaahu A’lam….


(Muhammad Fauzinudin, Mahasiswa UIN Sunan ampel Surabaya)