Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala Rosulillah amma ba’du.
Pada kesempatan ini, sengaja saya pilih judul tersebut agar sama-sama kita bisa kritis terhadap pernyataan “Allah Ta’ala Ada Tanpa Tempat & Tanpa Arah,” benarkah demikian atau sebaliknya? Atas dasar itulah catatan ini dibuat dan sebagai perwujudan terhadap tanggungjawab dakwah sebatas kemampuan dari keterbatasan yang saya miliki.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata “Jika kamu diam dalam perkara ini dan saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang bodoh mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)
Ada pendapat yang menyatakan bahwa sebelum Allah Ta’ala menciptakan Arsy dan langit, Allah Ta’ala ada tanpa keduanya, dan setelah menciptakan Arsy dan langit, maka Allah Ta’ala tidak berubah menjadi berada pada keduanya, sebab berubah itu merupakan tanda makhluk. Sehingga , dikatakan Allah Ta’ala ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Hal tersebut di atas merupakan pokok bahasan pada penjelasan berikutnya tapi terlebih dulu kita perhatikan di mana Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al Maidah : 3)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : “Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka Shalawatullahi wasalaamu alaihi. (Lihat Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma’rifat).
Inipun dipersaksikan para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu’anhu, menyebutkan : “Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami.” Abu Dzar melanjutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).
Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah) yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Kusempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Lihat Al I’tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)
1. ‘Arsy (Singgasana) Dan Istawa
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa ‘Arsy Allah dan Kursi-Nya adalah benar adanya di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mu’minuun: 116]
Juga firman-Nya: “Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia.” [ Al-Buruuj: 15]
‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. ‘Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk. [Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 366-367), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat-Malaikat Allah Azza wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4727), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu, sanadnya shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 151)]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” [HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu 'anhu . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/223 no. 109)]
Adapun tentang Kursi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” [Al-Baqarah : 255]
Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman Allah Ta’ala tersebut, beliau berkata:
“Kursi adalah tempat meletakkan kaki Allah, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Allah Ta’ala. [Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 12404), al-Hakim (II/282) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368-369)]
Sedangkan Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian).
Istiwa yang dimaksud disini adalah pada hakikatnya dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha. Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan: “Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)
2. Sebelum Allah Ta’ala Menciptakan Arsy Dan Langit, Allah Ta’ala Ada Tanpa Arsy Dan Langit
Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy.” (As-Sajdah: 4)
Firman-Nya yang lain :
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.” (Yunus: 3)
Hadits riwayat Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)
Hadits lainnya dari Abu Hurairah Radiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan tentang hadits di atas, “Dengan demikian Allah bersemayam di atas ‘Arsy setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Sebelum itu Dia tidak bersemayam di atas ‘Arsy. [Majmu' Al-Fatawa jilid V halaman 522]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berpendapat bahwa bersemayamnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus, bukan bersemayam secara umum seperti dilakukan oleh para makhluk. Maka dari itu tidak sah dikatakan istawa ‘ala al-makhluqat (bersemayam di atas makhluk-makhluk) atau di atas langit atau di atas bumi karena Dia terlalu mulia untuk itu. Selanjutnya beliau rahimahullah menjelaskan mengenai ‘Arsy bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Kata istawa lebih khusus daripada kata ‘uluw yang mutlak, maka dari itu bersemayamnya Allah Ta’ala di atas singgasana-Nya termasuk sifat-sifat-Nya yang fi’liyah berkaitan dengan kehendak-Nya, lain halnya kata ‘uluw, itu termasuk sifat-sifat dzatiyah-Nya, yang tidak lepas darinya. [Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm 85 – 86]
3. Setelah Menciptakan Arsy Dan Langit, Maka Allah Ta’ala Tidak Berubah Menjadi Berada Pada Keduanya, Sebab Berubah Itu Merupakan Tanda Makhluk.
Kaidah ini jelas tidak memiliki pijakan yang kuat, sekalipun itu ada tentunya akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafush Shalih yang Shahih dan Sharih. Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwa setelah Allah Ta’ala mencipta Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya, adapun pendapat yang menyatakan sebaliknya jelas itu tertolak.
Allah Ta’ala berfirman :
Mereka (para malaikat yang di langit) takut pada Tuhan mereka yang ada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.” [QS. An-Nahl: 50]
Ayat di atas juga membantah apabila yang ada di langit itu hanya malaikat. Selain itu, firman Allah Ta’ala lainnya : “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” [QS. Al-Ma’arij: 4]
Dalil lainnya bahwa Allah Ta’ala bersemyam di atas ‘Arsy yang menyatakan Kemahaketinggian (al-’Uluw) Allah dan keberadaan-Nya di atas langit adalah peristiwa Isra’-Mi’raj, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam naik bersama Jibril ‘alaihissalam menembus langit dunia, terus naik sampai langit ke tujuh dan Sidratul Muntaha. Kemudian beliau menghadap Allah Ta’ala untuk menerima perintah sholat. Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menceritakan:
“(Artinya) Maka aku menemui Tuhanku Yang Maha Suci dan Maha Tinggi sementara Dia berada di atas ‘Arsy-Nya”. [lihat Mukhtasar al-‘Uluw hal. 87]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :
“(Artrinya)Tidakkah kalian percaya kepadaku, padahal aku ini adalah kepercayaan yang ada di langit (yaitu Allah)”. [HR. Bukhari no.4351 Kitabul Maghazi; Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Di antara ucapan para Salaf tentang hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al Auza’i Rahimahullah: “Sesungguhnya kami dan para Tabi’in sepakat mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya serta kami mengimani semua hal yang berkaitan dengan sifat Allah sesuai dengan nashnya” (Atsar ini Shahih, dikeluarkan oleh imam Al Baihaqi di dalam kitabnya Al Asma was Shifat hal. 408, dan Imam Adz Dzahabi di dalam kitab Mukhtasar Al ‘Uluw lil Aliyyi Al Ghaffar hal.138).
Dalam hal ini Imam Syafi’I Rahimahullah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya. Beliau mengatakan: “…Sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya…” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya Adab As Syafi’i wa Manaqibuh hal. 93). Beliau (Imam Syafi’i) juga berkata: “Kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq adalah haq (benar), telah diputuskan oleh Allah dari atas langit-Nya.” [Lih. Manhaj al-Imam asy-Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah hal. 456]
Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.” Kemudian beliau Rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.” Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 372), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
Berkata Muhammad bin Ishak ibnu Huzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernyaك dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (pampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid : “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim.” [HR.Bukhari Muslim, lihat juga Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47]
Sebagai penutup mari kita timbang kembali pendapat yang menyatakan Allah Ta’ala ada tanpa tempat dan tanpa arah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafush Shalih yang Shahih dan Sharih. Saya minta maaf jika dalam catatan ini terdapat kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan. Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, keluarga, shahabat, dan seluruh umat Islam.
Pada kesempatan ini, sengaja saya pilih judul tersebut agar sama-sama kita bisa kritis terhadap pernyataan “Allah Ta’ala Ada Tanpa Tempat & Tanpa Arah,” benarkah demikian atau sebaliknya? Atas dasar itulah catatan ini dibuat dan sebagai perwujudan terhadap tanggungjawab dakwah sebatas kemampuan dari keterbatasan yang saya miliki.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata “Jika kamu diam dalam perkara ini dan saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang bodoh mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)
Ada pendapat yang menyatakan bahwa sebelum Allah Ta’ala menciptakan Arsy dan langit, Allah Ta’ala ada tanpa keduanya, dan setelah menciptakan Arsy dan langit, maka Allah Ta’ala tidak berubah menjadi berada pada keduanya, sebab berubah itu merupakan tanda makhluk. Sehingga , dikatakan Allah Ta’ala ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Hal tersebut di atas merupakan pokok bahasan pada penjelasan berikutnya tapi terlebih dulu kita perhatikan di mana Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al Maidah : 3)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : “Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka Shalawatullahi wasalaamu alaihi. (Lihat Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma’rifat).
Inipun dipersaksikan para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu’anhu, menyebutkan : “Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami.” Abu Dzar melanjutkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).
Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah) yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Kusempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Lihat Al I’tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)
1. ‘Arsy (Singgasana) Dan Istawa
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa ‘Arsy Allah dan Kursi-Nya adalah benar adanya di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mu’minuun: 116]
Juga firman-Nya: “Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia.” [ Al-Buruuj: 15]
‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. ‘Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk. [Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 366-367), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat-Malaikat Allah Azza wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4727), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu, sanadnya shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 151)]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” [HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifari Radhiyallahu 'anhu . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/223 no. 109)]
Adapun tentang Kursi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” [Al-Baqarah : 255]
Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman Allah Ta’ala tersebut, beliau berkata:
“Kursi adalah tempat meletakkan kaki Allah, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Allah Ta’ala. [Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 12404), al-Hakim (II/282) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368-369)]
Sedangkan Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian).
Istiwa yang dimaksud disini adalah pada hakikatnya dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha. Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan: “Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)
2. Sebelum Allah Ta’ala Menciptakan Arsy Dan Langit, Allah Ta’ala Ada Tanpa Arsy Dan Langit
Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy.” (As-Sajdah: 4)
Firman-Nya yang lain :
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.” (Yunus: 3)
Hadits riwayat Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)
Hadits lainnya dari Abu Hurairah Radiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan tentang hadits di atas, “Dengan demikian Allah bersemayam di atas ‘Arsy setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Sebelum itu Dia tidak bersemayam di atas ‘Arsy. [Majmu' Al-Fatawa jilid V halaman 522]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berpendapat bahwa bersemayamnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus, bukan bersemayam secara umum seperti dilakukan oleh para makhluk. Maka dari itu tidak sah dikatakan istawa ‘ala al-makhluqat (bersemayam di atas makhluk-makhluk) atau di atas langit atau di atas bumi karena Dia terlalu mulia untuk itu. Selanjutnya beliau rahimahullah menjelaskan mengenai ‘Arsy bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Kata istawa lebih khusus daripada kata ‘uluw yang mutlak, maka dari itu bersemayamnya Allah Ta’ala di atas singgasana-Nya termasuk sifat-sifat-Nya yang fi’liyah berkaitan dengan kehendak-Nya, lain halnya kata ‘uluw, itu termasuk sifat-sifat dzatiyah-Nya, yang tidak lepas darinya. [Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm 85 – 86]
3. Setelah Menciptakan Arsy Dan Langit, Maka Allah Ta’ala Tidak Berubah Menjadi Berada Pada Keduanya, Sebab Berubah Itu Merupakan Tanda Makhluk.
Kaidah ini jelas tidak memiliki pijakan yang kuat, sekalipun itu ada tentunya akan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafush Shalih yang Shahih dan Sharih. Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwa setelah Allah Ta’ala mencipta Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya, adapun pendapat yang menyatakan sebaliknya jelas itu tertolak.
Allah Ta’ala berfirman :
Mereka (para malaikat yang di langit) takut pada Tuhan mereka yang ada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.” [QS. An-Nahl: 50]
Ayat di atas juga membantah apabila yang ada di langit itu hanya malaikat. Selain itu, firman Allah Ta’ala lainnya : “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” [QS. Al-Ma’arij: 4]
Dalil lainnya bahwa Allah Ta’ala bersemyam di atas ‘Arsy yang menyatakan Kemahaketinggian (al-’Uluw) Allah dan keberadaan-Nya di atas langit adalah peristiwa Isra’-Mi’raj, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam naik bersama Jibril ‘alaihissalam menembus langit dunia, terus naik sampai langit ke tujuh dan Sidratul Muntaha. Kemudian beliau menghadap Allah Ta’ala untuk menerima perintah sholat. Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menceritakan:
“(Artinya) Maka aku menemui Tuhanku Yang Maha Suci dan Maha Tinggi sementara Dia berada di atas ‘Arsy-Nya”. [lihat Mukhtasar al-‘Uluw hal. 87]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :
“(Artrinya)Tidakkah kalian percaya kepadaku, padahal aku ini adalah kepercayaan yang ada di langit (yaitu Allah)”. [HR. Bukhari no.4351 Kitabul Maghazi; Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Di antara ucapan para Salaf tentang hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Al Auza’i Rahimahullah: “Sesungguhnya kami dan para Tabi’in sepakat mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya serta kami mengimani semua hal yang berkaitan dengan sifat Allah sesuai dengan nashnya” (Atsar ini Shahih, dikeluarkan oleh imam Al Baihaqi di dalam kitabnya Al Asma was Shifat hal. 408, dan Imam Adz Dzahabi di dalam kitab Mukhtasar Al ‘Uluw lil Aliyyi Al Ghaffar hal.138).
Dalam hal ini Imam Syafi’I Rahimahullah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya. Beliau mengatakan: “…Sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya…” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya Adab As Syafi’i wa Manaqibuh hal. 93). Beliau (Imam Syafi’i) juga berkata: “Kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq adalah haq (benar), telah diputuskan oleh Allah dari atas langit-Nya.” [Lih. Manhaj al-Imam asy-Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah hal. 456]
Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.” Kemudian beliau Rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.” Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 372), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
Berkata Muhammad bin Ishak ibnu Huzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernyaك dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (pampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid : “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim.” [HR.Bukhari Muslim, lihat juga Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47]
Sebagai penutup mari kita timbang kembali pendapat yang menyatakan Allah Ta’ala ada tanpa tempat dan tanpa arah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafush Shalih yang Shahih dan Sharih. Saya minta maaf jika dalam catatan ini terdapat kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan. Semoga keselamatan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, keluarga, shahabat, dan seluruh umat Islam.
By: Muhammad Fauzinuddin, Mahasantri Supel Surabaya