Friday, October 21, 2011

Mentadabburi Hari Pangan Sedunia

Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang diperingati setiap tahun pada tanggal 16 Oktober adalah sebuah momentum yang mengingatkan bahwa kekuatan setiap Negara ditentukan oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh masyarakat secara berkelanjutan. Selaras dengan tema HPS internasional “Food Prices From Crisis To Stability”, maka tema HPS tingkat Nasional telah ditetapkan “Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional”.
Di Indnesia, Masyarakat  Indonesia pada dasarnya adalah manusia yang terberkati. Tanahnya subur akibat banyaknya aktivitas gunung berapi dan juga curah hujan yang tinggi. Tidak heran jika lahan untuk menggembalakan sapi, kerbau,kambing,kuda dan sejenisnya menjadi kurang akibat sebagian besar lahannya digunakan sebagai lahan pertanian.
Namun tanpa ingin mengorek-ngorek luka lama, manusia Indonesia memang benar sudah terlalu lama terjajah, membuat manusia Indonesia tidak sepenuhnya dapat menikmati apa yang mereka patut nikmati. Walau makanan selalu menjadi sesuatu hal yang vital bagi hidup manusia Indonesia, karena mereka tidak pernah yakin apakah makanan yang mereka punyai cukup untuk menghidupi mereka.
Seiring kemerdekannya manusia Indonesia pernah melalui berbagai masa, dari kelangkaan bahan pangan hingga swasembada pangan, terutama beras. Kehidupan pangan di Indonesia selalu dinamis dan menjadi refleksi kedinamisan Indonesia di berbagai bidang lainya, politiknya, eknominya, sosial budayanya, sejarahnya dan lain-lainnya.
era 90 adalah masa Indonesia ingin cepat terbang layaknya seekor burung, agar dapat menikmati kedirgantaraan nusantara. Sektor ketahanan pangan pun menjadi kendur demi menciptakan ambisi ini. Perdebatan yang selalu di lontarkan adalah “jual beras itu tidak seberapa dibanding menjual pesawat” . Walau ada pertanyaan dalam hati “apa iya rakyat mao terbang dulu baru makan? atau makan dulu baru terbang?”
Akhir era orde baru yang ditandai dengan turunnya sang bapak pembangunan juga memulai era yang baru. Yang katanya era reformasi. Era yang juga memulai Indonesia tanpa arah program pembangunan jangka panjang, karena garis-garis besar haluan negara (GBHN) sudah tidak lagi digunakan sebagai pedoman di era reformasi ini.
Masih dalam periode yang mendambakan ke stabilan ekonomi, politik dan isu-isu sosial, sosok Globalisasi datang. Memberikan tantangan dan kesempatan yang besar bagi Indonesia dan manusianya. Para pemimpin negeri silih berganti, mencoba habis-habisan untuk memecahkan masalah pangan.
Namun tuntutan globalisasi terlalu besar, terfokus kepada pengembangan industri yang mengarah juga pada merubah negara menjadi negara industri dan mecoba mengatasi masalah pangan dengan mudah, import kebutuhan pangan.
Semua hal di Indonesia memang serba kompleks dan berkaitan. Ingin menciptakan negara industri butuh banyak infrastruktur. Ingin meratakan infrastruktur ke seluruh daerah butuh anggaran dan butuh waktu lama. Alhasil industri dibangun di pulau yang katanya infrastruktunya sudah baik, di pulau Jawa dan juga sebagian Sumatra.
Lahan pertanian berubah menjadi kompleks industri (walau banyak juga yang berubah jadi mall, apartemen, perumahan dan kos-kosan mahasiswa). Merubah tanah paling subur nusantara (akibat aktivitas gunung berapi) menjadi lebih fokus industri. Walau dari zaman Belanda, Belanda sudah menyatakan bahwa mereka melakukan kesalah besar karena terlalu fokus pada sumatra dan jawa saja. Padahal alangkah baiknya jika jawa dan sumatra hanya fokus untuk pertanian, agar pangan dan komoditas lainnya tetap terjamin pertumbuhannya. Daerah lain seperti kalimantan dan kawan-kawannya sudah di pikirkan untuk menjadi daerah industri dan pendukung, tapi belanda sudah keburu keluar dari Indonesia, dan Indonesia melanjutkan hal yang sudah di sesali Belanda.
Memang wajar kalau pembangunan tidak terarah, toh memang tidak ada panduannya hingga munculnya UU No. 17 tahun 2007. Dengan ini bangsa Indonesia kembali memiliki acuan, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Membiasakan hal baru memang butuh waktu, untuk menyembuhkan lidah yang melepuh akibat menyeruput kopi saja butuh 2 minggu, apalagi membiasakan sebuah negara dengan kebijakan dan kebiasaan yang “baru”. Butuh waktu, waktu yang agak lama. Mungkin juga lama.
Tanggal 16 oktober 2011 ini adalah hari pangan sedunia. Sebuah hari yang sengaja di canangkan untuk mendorong peningkatan produksi pangan dan memancing inisiatip berskala kecil, menangan dan nasional untuk mengatasi masalah pangan. Hari angan ini juga untuk meningkatkan partisipasi rakyat pedesaan, terutama wanita dan golongan bawah dalam menentukan kebijakan yang dapat memberikan pengarahu pada kehidupan mereka.
Hari ini akan terus menjadi refleksi kita sebagai manusia Indonesia yang selalu mendambakan harga bahan pokok yang terjangkau namun juga berkualitas.
Perut yang bergejolak memang selalu membawa banyak dampak negative, seperti berkurangnya kemampuan berpikir secara rasional, berkurangnya konsentrasi yang berdampak pada pendidikan, berkurangnya ketahanan tubuh yang berakibat berkurangnya keefektifan bekerja dan efeknya terhadap jalannya ekonomi.
Jadi apa iya kita harus buru-buru bersaing dengan globalisasi jika perut masih belum terisi?
Jadi apa iya kita ingin mempromosikan demokrasi dalam konteks Indonesia jika perut masih belum terisi?
Jadi apa iya kita ingin menjadi negara maju tahun 2025 saat perut masih belum terisi?
Jika memang jawabannya tidak namun kita juga ingin semua itu tercapai maka kita perlu rencana jangka panjang yang realistik dan berani untuk merubah kebiasaan kita, mengedepankan ketahanan pangan nasional dibandingkan dengan buru-buru berlari tanpa perut terisi.
Kita negeri agraris, kita negeri bahari. Petani dan nelayan adalah front terdepan dalam memenuhi kebutuhan pangan kita. Infrastruktur yang layak sudah saatnya di fokuskan juga bagi dua sector itu. Saat petani dan nelayan sejahtera, maka sejahtera ada di dalam manusia Indonesia.
By : Muhammad Fauzy Nuddin, Mahasantri Pesantren Mahasiswa Surabaya

NB: Tulisan Ini telah dimuat dikoran Radar Surabaya Edisi Jumat, 14-10-2011.

Friday, October 7, 2011

Mahasiswa Ditanah Rantau

Saya teringat mutiara arab yang berbunyi safir tajid iwadhon ‘amman tufariquhu (merantaulah niscaya kamu akan mendapat pengganti dari orag yang kamu tinggalkan). Kata-kata ini pas jika dinisbahkan kepada para mahasiswa yang mungkin terpaksa merantau jauh dari rumah demi pendidikan. memang sebagai pendatang sudah pasti dibutuhkan jurus adaptasi yang tepat agar sukses bertahan ditanah rantau.tapi hal yang terpenting yang harus kita miliki adalah sikap mental menghadapi dunia baru artinya dunia yang kita belum tahu jelas adat environmentnya.tak pelak banyak diantara kalangan mahasiswa yang suka gonta-ganti asrama dikarenakan kurang cocok dengan pergaulan dan kurang bisa beradaptasi dengan baik dilingkungannya.
Saya juga termasuk orang yang tergolong satu dari jutaan mahasiswa ditanah rantau yang bisa dibilang berhasil beraptasi dengan sekitar, itu terbukti dengan eksistensi saya ditanah rantau tidak pernah gonta-ganti asrama dan betul kata mutiara arab kita niscaya mendapatkan ganti dari orang yang kita tinggalkan, tapi saya gak sembarang PD aja yakin bisa tahan ditah rantau,usung punya usung saya itu sebenarnya mempunyai tipz untuk bisa tahan lama ditanah rantau, tipz yang saya bawa tidak neko2 yaitu hanya butuh jurus kedepankan sifat ramah tamah,supel suka bertegur sapa dan hindari apatis pada lingkungan sekitar dan sering-sering kumpul sama teman,baik teman2 seperantauan atau teman dari sekitar kampus.
Mungkin bagi sebagian mahasiswa, sepulang dari menimba ilmu ditanah rantau kita dinanti-nantikan jasa dan pengabdian kita oleh masyarakat tempat kita tiggal, karena kita sudah diultimatum sebagi agent of change “agen perubahan” yang akan merubah pola pikir kita, sikap kita dan kedewasaan kita.
Perlu disadari, mahasiswa adalah intelektual terdidik. Kaum muda dengan segala potensi memiliki kesempatan dan ruang untuk berada dalam lingkungan akademis yang disebut kampus.
Reformasi sebagai momen penting di Indonesia pun, adalah hasil perjuangan mahasiswa dengan gerakannya. “Alam kebebasan berdemokrasi, tanpa tekanan otoriter sekarang ini adalah buah dari pola-pola gerakan yang dilakukan oleh kaum terdidik yang ingin bangsanya mengalami perubahan.
Sebagai kaum terdidik yang hidup dalam komunitas masyarakat, kita memiliki beberapa peran penting. Pertama, sebagai iron stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. “Artinya mahasiswa merupakan aset, cadangan dan harapan bangsa. Kongkritnya sebagai penerus tonggak estafet bangsa,”.
Kedua, mahasiswa sebagai agent of change. Dimana mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan yang diharapkan dalam rangka kemajuan bangsa. Dilakukan dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan miskin, mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang diselewengkan oleh oknum-oknum elit. “Dalam perubahan ini mahasiswa harus menjadi garda terdepan,”
Ketiga, mahasiswa sebagai agent of problem solver. Dimana, mahasiswa harus menjadi generasi yang memberikan solusi dari setiap persolaan yang terjadi dalam lingkungan dan bangsanya sendiri. Dengan berbagai analisa dan kajian-kajian akademik yang dilakukan, semestinya mahasiswa bisa membantu jalan keluar terhadap kondisi sulit yang dihadapi oleh pengambil kebijakan.
Keempat, mahasiswa sebagai agent of control. Fungsi ini dilakukan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa negara. Berpijak dari ungkapan Jo Grimmond, mantan anggota Parlemen Inggris, mahasiswa harus berontak terhadap birokrasi dalam semua bentuk dan sikapnya. “Mahasiswa harus berontak terhadap pikiran yang hanya berpikir dalam rangka organisasi yang dianutnya atau terhadap kelaziman-kelaziman yang telah di-indoktrinasi-kannya,”.
Baik terhadap determinisme ekonomi dan teknik, penggunaan pendidikan yang menghasilkan budak-budak bagi suatu teknokrasi yang digerakkan oleh mesin, para profesor yang memberikan sedikit waktu di universitas-universitas di mana katanya mereka harus mengajar.
Muhammad Fauzy Nuddin, Mahasantri Supel Surabaya

Tuesday, October 4, 2011

Sarjana Pengangguran Akademika



Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan ijasahmu
Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku
'Tuk jaminan masa depan
Langkah kakimu terhenti
Di depan halaman sebuah jawaban

Masih ingtkah kalian dengan petikan reff lagu iwan fals diatas???
Bagi seluruh sarjana di Indonesia, selamat Hari Sarjana Nasional yang tepat jatuh pada hari kamis 29 September.(tapi uda lewat 5 hari dech karena posting_nya baru sekarang)tapi gak papa karena entar kan ada wisuda gelombang ke2 diIAIN Supel(Wisuda terakhir bagi mahasiswa yang ijazahnya berlabel IAIN karena tahun depan sudah berlabel UIN Sunan Ampel Surabaya karena SK UIN sudah turun dari Departemen Agama,sekarang namanya Kementrian Agama).
Tapi berapa banyak ya sarjana yang tahu tanggal peringatannya? Orang yang gelarnya berderet melebihi panjang namanya saja belum tentu tahu. Termasuk para profesor. Karena kalau profesor selalu ingat tanggal lahir sarjana, malah tidak cocok dikatakan profesor. Ciri khas profesor kan pelupa? Betul nggak?heeeee.
 Tepat pada tanggal 29 September merupakan hari jadinya sarjana. Nggak peduli jenis kesarjanannya.
Lantas mau apa hari sarjana diperingati, kalau banyak sarjana2 yang masih menganggur? Ngganggur kok mau memperingati, uangnya dari mana? Lha wong buat surat lamaran saja kadang masih ngutang.
Malah kalau kita perhatikan di sekitar, masih banyak sarjana-sarjana nganggur. Mereka itu termasuk sarjana pengangguran alias menjadi intelektual parkir. Ada banyak sebab mengapa banyak sarjana2 nganggur. selain dulunya waktu milih jurusan manut grubyuk, jurusan yang dibuka oleh PT itu sebenarnya sudah banyak yang jenuh. Akibanya, alumni universitas ini bingung mencari lahan pencaharian. Apalagi banyak sarjana yang menganut aliran sarjana kolot.
Sarjana yang tidak mau bekerja kalau bidang yang ditawarkan tidak sesuai ijazahnya. Payah memang. Hari gini cari kerja milih2. Yang sudah bekerja saja banyak yang diPHK. Lantas apa yang bisa diperbuat mereka???
Kalau yang begini ini kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah Mahfudzot (kata mutiara) yang ane dapet waktu dipondok dulu“.
Berani ambil resiko, suka tantangan, tahan banting serta kreatif dan inovatif. Jangan menunda waktu. Mulailah dari sekarang, mulailah yang dari yang kecil mulailah dari diri sendiri dan mulailah bertindak, mulailah dari yang kita bisa dan jangan terlalu ikut arus. Beranilah berubah, karena hidup adalah perubahan”.
Sekali lagi saya ucapakan bagi seluruh sarjana di Indonesia, selamat Hari Sarjana Nasional. Anda semua merasa gembira, wahai sarjana, gelar kalian dirayakan di Indonesia? (tepatnya diperingati). Tapi rasa-rasanya kok aneh yah???, kenapa gelar sarjana diperingati pada tanggal 29 September? Siapa saja yang memperingatinya? Usut punya usut eh hari sarjana hanya hiasan saja untuk menyebut hari-hari penting di Indonesia”.
Kalau pun hari sarjana dirayakan, rasanya kok lagi-lagi aneh. Kenapa? Coba lihat data dan fakta tentang para sarjana diindonesia!!!tingkat pengangguran terbuka itu didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka di atas jutaan orang. Merekalah yang kerap disebut dengan “pengangguran akademik“.
Apa tanggapan Anda wahai para sarjana, khususnya yang masih belum kerja? Terus bagaimana tanggapan pemerintah terhadap pengangguran akademik yang mencapai angka jutaan orang ini?
Terus ada yang bilang “eh bung, mbok yo jangan nyalahin pemerintah, sudah berusaha nyari kerja belum? Mulailah dengan diri sendiri, berwirausaha dong”. Saya jadi berpikir begini, bagaimana kalau pertanyaan ini dilontarkan ke jutaan penganggur akademik di Indonesia yahh? Weleh-weleh Apa jawaban mereka masing-masing? Tentunya berbeda. Artinya, jangan gebyah uya dong (menyamaratakan).
Selamat bagi para sarjana yang sudah dapat kerja, sepertinya Anda berhak merayakan Hari Sarjana Nasional.

By, Muhammad Fauzy Nuddin, Mahasantri Supel Surabaya.