Di Indnesia, Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah manusia yang
terberkati. Tanahnya subur akibat banyaknya aktivitas gunung berapi dan juga
curah hujan yang tinggi. Tidak heran jika lahan untuk menggembalakan sapi,
kerbau,kambing,kuda dan sejenisnya menjadi kurang akibat sebagian besar lahannya
digunakan sebagai lahan pertanian.
Namun tanpa ingin mengorek-ngorek luka lama,
manusia Indonesia memang benar sudah terlalu lama terjajah, membuat manusia
Indonesia tidak sepenuhnya dapat menikmati apa yang mereka patut nikmati. Walau
makanan selalu menjadi sesuatu hal yang vital bagi hidup manusia Indonesia,
karena mereka tidak pernah yakin apakah makanan yang mereka punyai cukup untuk
menghidupi mereka.
Seiring kemerdekannya manusia Indonesia pernah
melalui berbagai masa, dari kelangkaan bahan pangan hingga swasembada pangan,
terutama beras. Kehidupan pangan di Indonesia selalu dinamis dan menjadi
refleksi kedinamisan Indonesia di berbagai bidang lainya, politiknya,
eknominya, sosial budayanya, sejarahnya dan lain-lainnya.
era 90 adalah masa Indonesia ingin cepat
terbang layaknya seekor burung, agar dapat menikmati kedirgantaraan nusantara.
Sektor ketahanan pangan pun menjadi kendur demi menciptakan ambisi ini.
Perdebatan yang selalu di lontarkan adalah “jual beras itu tidak seberapa
dibanding menjual pesawat” . Walau ada pertanyaan dalam hati “apa iya rakyat
mao terbang dulu baru makan? atau makan dulu baru terbang?”
Akhir era orde baru yang ditandai dengan
turunnya sang bapak pembangunan juga memulai era yang baru. Yang katanya era
reformasi. Era yang juga memulai Indonesia tanpa arah program pembangunan
jangka panjang, karena garis-garis besar haluan negara (GBHN) sudah tidak lagi
digunakan sebagai pedoman di era reformasi ini.
Masih dalam periode yang mendambakan ke stabilan
ekonomi, politik dan isu-isu sosial, sosok Globalisasi datang. Memberikan
tantangan dan kesempatan yang besar bagi Indonesia dan manusianya. Para
pemimpin negeri silih berganti, mencoba habis-habisan untuk memecahkan masalah
pangan.
Namun tuntutan globalisasi terlalu besar,
terfokus kepada pengembangan industri yang mengarah juga pada merubah negara
menjadi negara industri dan mecoba mengatasi masalah pangan dengan mudah,
import kebutuhan pangan.
Semua hal di Indonesia memang serba kompleks
dan berkaitan. Ingin menciptakan negara industri butuh banyak infrastruktur.
Ingin meratakan infrastruktur ke seluruh daerah butuh anggaran dan butuh waktu
lama. Alhasil industri dibangun di pulau yang katanya infrastruktunya sudah
baik, di pulau Jawa dan juga sebagian Sumatra.
Lahan pertanian berubah menjadi kompleks
industri (walau banyak juga yang berubah jadi mall, apartemen, perumahan dan
kos-kosan mahasiswa). Merubah tanah paling subur nusantara (akibat aktivitas
gunung berapi) menjadi lebih fokus industri. Walau dari zaman Belanda, Belanda
sudah menyatakan bahwa mereka melakukan kesalah besar karena terlalu fokus pada
sumatra dan jawa saja. Padahal alangkah baiknya jika jawa dan sumatra hanya
fokus untuk pertanian, agar pangan dan komoditas lainnya tetap terjamin
pertumbuhannya. Daerah lain seperti kalimantan dan kawan-kawannya sudah di
pikirkan untuk menjadi daerah industri dan pendukung, tapi belanda sudah keburu
keluar dari Indonesia, dan Indonesia melanjutkan hal yang sudah di sesali
Belanda.
Memang wajar kalau pembangunan tidak terarah,
toh memang tidak ada panduannya hingga munculnya UU No. 17 tahun
2007. Dengan ini bangsa Indonesia kembali memiliki acuan, yaitu Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Membiasakan hal baru memang butuh waktu, untuk
menyembuhkan lidah yang melepuh akibat menyeruput kopi saja butuh 2 minggu,
apalagi membiasakan sebuah negara dengan kebijakan dan kebiasaan yang “baru”.
Butuh waktu, waktu yang agak lama. Mungkin juga lama.
Tanggal 16 oktober 2011 ini adalah hari pangan
sedunia. Sebuah hari yang sengaja di canangkan untuk mendorong peningkatan
produksi pangan dan memancing inisiatip berskala kecil, menangan dan nasional
untuk mengatasi masalah pangan. Hari angan ini juga untuk meningkatkan
partisipasi rakyat pedesaan, terutama wanita dan golongan bawah dalam
menentukan kebijakan yang dapat memberikan pengarahu pada kehidupan mereka.
Hari ini akan terus menjadi refleksi kita
sebagai manusia Indonesia yang selalu mendambakan harga bahan pokok yang
terjangkau namun juga berkualitas.
Perut yang bergejolak memang selalu membawa
banyak dampak negative, seperti berkurangnya
kemampuan berpikir secara rasional, berkurangnya konsentrasi yang berdampak
pada pendidikan, berkurangnya ketahanan tubuh yang berakibat berkurangnya
keefektifan bekerja dan efeknya terhadap jalannya ekonomi.
Jadi apa iya kita harus buru-buru bersaing
dengan globalisasi jika perut masih belum terisi?
Jadi apa iya kita ingin mempromosikan demokrasi
dalam konteks Indonesia jika perut masih belum terisi?
Jadi apa iya kita ingin menjadi negara maju
tahun 2025 saat perut masih belum terisi?
Jika memang jawabannya tidak namun kita juga
ingin semua itu tercapai maka kita perlu rencana jangka panjang yang realistik
dan berani untuk merubah kebiasaan kita, mengedepankan ketahanan pangan
nasional dibandingkan dengan buru-buru berlari tanpa perut terisi.
Kita negeri agraris, kita negeri bahari. Petani
dan nelayan adalah front terdepan dalam memenuhi kebutuhan pangan kita.
Infrastruktur yang layak sudah saatnya di fokuskan juga bagi dua sector itu.
Saat petani dan nelayan sejahtera, maka sejahtera ada di dalam manusia
Indonesia.
By : Muhammad Fauzy Nuddin, Mahasantri Pesantren Mahasiswa Surabaya
NB: Tulisan Ini telah dimuat dikoran Radar Surabaya Edisi Jumat, 14-10-2011.