Tuesday, April 10, 2012

Refleksi Hukuman Pidana Islam


Hukuman pidana Islam (Fiqih Jinayah) sering mendapat tudingan sebagai hukum yang out of date  dan dehumanis. Tudingan itu terjadi karena ketidaksanggupan mereka menangkap ruh syariat islam. Padahal hukum pidana islam sebagaimana yang tertera dalam nash tidaklah absolut (letterlijk). Nabi tidak selalu memberlakukan hukum sebagaimana bunyi teks tetapi sangat kondisional. Hukuman pidana Islam bukanlah bersifat ortodoks melainkan memberikan ruang gerak bagi akal pikiran manusia untuk ijtihad. Ijtihad ini diberikan dalam rangka menginterpretasikan teks-teks hukum sehingga mampu merespon kebutuhan dan tuntutan masyarakat secara dinamis. Oleh karena itu perlu diadakan reaktualisasi pemikiran hukum pidana Islam terutama dari sisi klasifikasi tindak pidana sampai kepada persoalan sanksi.
Sistem hukum pidana Islam sesungguhnya diawali dengan koreksi terhadap sistem huku jahiliyah yang diskriminatif. Kabilah yang kuat dikala itu sangat berhak dalam persoalan intervensi hukum, sementara suku yang lemah hanya sebagai pelengkap penderita (tertindas) karena ketidakberdayaannya. Islam datang dengan membawa panji menegakkan hukum dengan prinsip keseimbangan dan keadilan.
Reaktualisasi pemikiran ditawarkan sebagai upaya penyegaran atau tindakan untuk menjadikan sesuatu itu baru di satu sisi dan di sisi lain tetap tidak merubah nilai dasar  dari sesuatu yang diperbaharui. Jika dikatakan reaktualisasi pemikiran, maka aktualisasinya meliputi bidang pemikiran, sikap, mental, perilaku atau tindakan manusia yang meliputi bidang ilmu, iman dan amal.
Berkaitan dengan pemahaman hukum pidana Islam yang berorientasi pada penegakan amar ma’ruf nahi munkar, maka tegaknya al-maqasid asy-syariah merupakan sebuah keniscayaan. Perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Hukum pidana Islam, ketika menerapkan sanksi mendasarkan kepada kepentingan kolektif  di atas kepentingan  pribadi atau golongan. Reaktualisasi pemikiran hukum Islam sebenarnya bukan hal yang baru. Umar ibn al-Khattab pernah mengadakan penyimpangan asas legalitas dalam hukum potong tangan yang terjadi pada muslim paceklik. Sikap Umar bukan menghianati hukum Allah, melainkan semangat menangkap ruh syariat Islam Dengan Pemahaman yang Kontesktual. Hal senada juga dilakukan Rasulullah jauh sebelum peristiwa tersebut, yakni ketika Rasulullah tidak menghukum apa-apa bagi pencuri buah-buahan yang makan ditempat.
Pengaktualisasian pemidanaan di sini bukan berarti ingin merubah nilai dasar, akan tetapi memahami kembali teks secara konseptual dengan tidak merubah jiwa (ruh) syariah.



No comments:

Post a Comment