Hukuman pidana Islam (Fiqih Jinayah) sering mendapat
tudingan sebagai hukum yang out of date
dan dehumanis. Tudingan itu terjadi karena
ketidaksanggupan mereka menangkap ruh syariat islam. Padahal hukum pidana islam
sebagaimana yang tertera dalam nash tidaklah absolut (letterlijk). Nabi
tidak selalu memberlakukan hukum sebagaimana bunyi teks tetapi sangat kondisional.
Hukuman pidana Islam bukanlah bersifat ortodoks melainkan memberikan ruang
gerak bagi akal pikiran manusia untuk ijtihad. Ijtihad ini diberikan dalam
rangka menginterpretasikan teks-teks hukum sehingga mampu merespon kebutuhan
dan tuntutan masyarakat secara dinamis. Oleh karena itu perlu diadakan
reaktualisasi pemikiran hukum pidana Islam terutama dari sisi klasifikasi
tindak pidana sampai kepada persoalan sanksi.
Sistem hukum pidana Islam sesungguhnya diawali
dengan koreksi terhadap sistem huku jahiliyah yang diskriminatif. Kabilah yang
kuat dikala itu sangat berhak dalam persoalan intervensi hukum, sementara suku
yang lemah hanya sebagai pelengkap penderita (tertindas) karena
ketidakberdayaannya. Islam datang dengan membawa panji menegakkan hukum dengan
prinsip keseimbangan dan keadilan.
Reaktualisasi pemikiran ditawarkan sebagai upaya
penyegaran atau tindakan untuk menjadikan sesuatu itu baru di satu sisi dan di
sisi lain tetap tidak merubah nilai dasar
dari sesuatu yang diperbaharui. Jika dikatakan reaktualisasi pemikiran,
maka aktualisasinya meliputi bidang pemikiran, sikap, mental, perilaku atau
tindakan manusia yang meliputi bidang ilmu, iman dan amal.
Berkaitan dengan pemahaman hukum pidana Islam yang
berorientasi pada penegakan amar ma’ruf nahi munkar, maka tegaknya al-maqasid
asy-syariah merupakan sebuah keniscayaan. Perlindungan terhadap agama,
jiwa, keturunan, harta dan akal. Hukum pidana Islam, ketika menerapkan sanksi
mendasarkan kepada kepentingan kolektif
di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Reaktualisasi pemikiran hukum Islam sebenarnya bukan hal yang baru.
Umar ibn al-Khattab pernah mengadakan penyimpangan asas legalitas dalam hukum
potong tangan yang terjadi pada muslim paceklik. Sikap Umar bukan menghianati
hukum Allah, melainkan semangat menangkap ruh syariat Islam Dengan Pemahaman
yang Kontesktual. Hal senada juga dilakukan Rasulullah jauh sebelum peristiwa
tersebut, yakni ketika Rasulullah tidak menghukum apa-apa bagi pencuri
buah-buahan yang makan ditempat.
Pengaktualisasian pemidanaan di sini bukan berarti
ingin merubah nilai dasar, akan tetapi memahami kembali teks secara konseptual
dengan tidak merubah jiwa (ruh) syariah.
No comments:
Post a Comment