Monday, December 17, 2012

Agama Moderat yang Maurud


            Menampilkan agama dengan warnanya yang sejuk dan moderat merupakan tugas pokok kaum agamawan di era seperti sekarang. Terlebih lagi provokasi tentang adanya benturan antar peradaban termasuk didalamnya terdapat agama, telah disikapi berlebihan oleh banyak kalangan. Barat mencurigai Islam, begitupun sebaliknya merupakan bukti bahwa begitu akutnya peradaban manusia sekarang.
            Dalam melaksanakan ajaran agama Islam ini ada satu prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yaitu sikap tawassuth (moderat), dalam arti tidak ekstrim atau berlebih-lebihan. Sikap ekstrim/berlebihan sering menimbulkan persepsi bahwa perintah-perintah agama terasa sebagai beban yang memberatkan, dan larangan agama terasa sebagai belenggu yang membatasi kebebasan atau kreativitas. Padahal tujuan utama dari setiap perintah Tuhan tiada lain adalah untuk mendatangkan manfaat dan maslahat bagi pelakunya, sedangkan setiap larangan Tuhan pada esensinya adalah bentuk “penyelamatan” agar manusia terhindar dari bahaya atau kerusakan.
            Akan tetapi, lebih membahayakan lagi apabila sikap esktrim itu diaplikasikan pada aspek-aspek ajaran Islam yang menyangkut hubungan sosial antar sesama manusia, misalnya tentang amar ma’ru nahi munkar, kewajiban berjihad, dan sebagainya. Implementasi seperti itulah yang pada waktu dewasa ini sering menimbulkan konotasi Islam sebagai agama yang puritan, radikal dan konservatif. Padahal citra tersebut sangat tidak sesuai dengan esensi Islam yang lembut dan penuh kasih sayang (baca : rahmatan lil ‘alamin).
            Kalau kita perhatikan ajaran-ajaran Islam yang terdapat didalam al-Qur’an dan al-Hadits misalanya, maka setiap perintah-Nya yang ditujukan kepada manusia selalu disertai petunjuk yang memudahkan untuk melaksanakannya. Misalnya, perintah berpuasa pada bulan ramadlan, maka perintah itu disertai dengan adanya toleransi bagi orang yang tidak dapat melakukan puasa sesuai ketentuan, mungkin karena sakit atau sedang berperjalanan jauh yang melelahkan, sehingga mereka merasa sangat berat kalau harus berpuasa dalam kondisi tersebut. Bagi mereka diperbolehkan meninggalkan puasa di bulan ramadlan dengan ketentuan harus menganti puasa di bulan lain apabila telah sembuh dari sakitnya atau sudah berada di rumah kembali dari bepergiannya. Begitu juga dengan perintah mengerjakan sholat fardlu dengan menyertakan perbuatan berdiri dalam rukun sholat, perintah ini juga disertai dengan adanya toleransi bagi orang yang tidak mampu berdiri, bisa dengan cara duduk, berbaring ataupun dengan isyarat sebagi toleransi akhir. Bahkan, mengerjakan sholat pun boleh diluar waktu sholat yang ditentukan jika disebabkan ketiduran atau lupa tanpa disadari kalau sudah masuk waktu shalat dan keblablasan sampek masuk pada waktu sholat berikutnya (Rasulullah bersabda : Man naama ahadukum ‘an sholatin au nasiyaha falyusholliha idza dzakaroha). Toleransi dalam bingkai kemudahan/keringanan ini termaktub dalam konsep hajjiyah yang digagas oleh As-Syatibi dalam ­al-Muwafaqot-nya.
            Demikian pula Umat Islam dilarang keras mengamalkan doktrin agamanya secara berlebihan yang mengakibatkan timbulnya gangguan kepada orang lain atau sampai mencelakai orang lain atau sampai mencelakai orang lain dengan topeng jihad. Padahal kalau kita perhatikan nasihat-nasihat Rasulullah kepada para sahabatnya di saat beliau menghadapi ancaman penyerangan oleh orang kafir, maka beliau selalu menyampaikan “jangan berharap bertemu musuh”. Artinya bahwa kalau tidak terjadi peperangan, itu lebih baik karena perang akan selalu menimbulkan kerusakan dan korban. Dan sendainya benar-benar terjadi peperangan sekalipun (karena tidak mungkin menghindar dari serangan musuh), maka Rasul memperingatkan agar para sahabat jangan sampai melibatkan orang-orang yang sama sekali tidak terkait dengan perang, misalnya anak-anak, para perempuan, atau orang-orang yang sedang beribadah ditempat ibadah mereka. Dan sangat banyak lagi doktrin Islam yang substansinya adalah RAHMATAN LIL ‘ALAMIN.

By : Muhammad Fauzinuddin, Pengasuh Pesantren Journalism Community (PJC) di Pesantren Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.-

No comments:

Post a Comment