Tuesday, February 12, 2013

Indonesia dalam Perspektif Agama


Indonesia dalam Perspektif Agama
Oleh : Muhammad Fauzinuddin

            Interaksi sosial antar umat manusia membuka dua dimensi, yakni harmoni dan konflik. Harmoni terbangun ketika ketika masing-masing pihak berusaha untuk saling memahami, mengedepankan toleransi, dan menepis berbagai prasangka negatif terhadap yang lain. Dengan cara demikian, akan tercipta sebuah kehidupan yang rukun dan penuh dengan kedamaian. Sebaliknya, konflik terjadi ketika masing-masing pihak memegang dengan kukuh kebenaran yang diyakininya tanpa kompromi, melihat pihak lain sebagai lawan yang harus dikuasai, dan harus ditundukkan. Jika satu pihak, apalagi masing-masing pihak memegang dengan kukuh sikap semacam ini, maka konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat untuk dihindari. Perbenturan kepentingan, hasrat menguasai, dan sikap arogan, menjadi sebab determinan bagi lahir dan berkembangnya sebuah konflik.-
            Jika kita berbicara Indonesia dalam kaitannya dengan keharmonisan dan konflik, maka yang lebih dominan terbesit dalam puncak klasemen aksentuasi kita adalah tentang sosial-keagamaan, bagaimana tidak, hal ini sudah berakar dan menjamur, dan kelihatannya akan terus berlangsung karena beberapa hal. Hakikatnya ketegangan semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di belahan dunia pun juga terjadi konflik serupa meskipun tidak serumit dan sekompleks di negara yang pernah dijajah belanda dan jepang, ini karena Indonesia merupakan penduduk dengan agama dan etnis terbanyak di antara negara-negara lain.
Pengertian Agama
            Kerap kali kita membaca dan mendengar orang mencoba mencari dan menerangkan  arti agama dari segi etimologi, bahwa agama berasal dari dua kata: a = tidak dan gama = kocar-kacir atau berantakan. Jadi arti kata “agama” adalah tidak kocar-kacir, atau tidak berantakan. Lebih jelas lagi kata agama itu adalah teratur, beres. Teori yang kuat sekali diduga berasal dari Fachroeddin Al-Kahiri ini sering kali dikutip dalam ceramah-ceramah dan dalam tulisan-tulisan, baik dalam brosur-brosur, majalah-majalah, buletin-buletin, maupun buku-buku.[1]
            Berbicara tentang mencari arti agama dari segi etimologi, menarik sekali kalau kita simak uraian Bahrum Rangkuti, seorang cendekiawan muslim yang ahli bahasa (baca : languist) dan sekaligus mantan sekjen departemen agama era 70-an (sekarang depag berubah nama menjadi kemenag), dalam salah satu diktatnya, ada beberapa uraian menarik. Menurut beliau agama berasal dari bahasa sansekerta: a-gama (tanda (-) artinya dalam pelafalan dibaca panjang). Masih menurut Bahrum, orang-orang yang mengatakan bahwa agama diambil dari kata : a = tidak, gama = kacau, jadi : agama = tidak kacau. Ini sebenarnya tidak ilmiah, oleh karena yang menerangkan itu belum mengetahui bahasa sansekerta. Memang (a) dalam bahasa kita = tidak, seperti : aneka. A = tidak, eka = satu, jadi aneka = tidak satu/beragam. Tapi kalau (a) panjang a-gama, artinya a = cara, jalan, the way; gama, mulanya gam adalah bahasa Indo Germania = bahasa inggris to go = berjalan, maksudnya adalah cara-cara agar sampai kepada keridloan tuhan.[2]
            Sedangkan mencari pengertian dan definisi agama dari sisi terminologi menurut mantan menteri agama Mukti Ali merupakan hal yang paling sulit. Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan  oleh ali, sapaan akrabnya. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal bathini dan subyektif, juga sangat individualistis. Kedua, barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih dari pada membicarakan agama, maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali sehingga sulit memberikan arti kalimat agama itu. Ketiga, konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu. [3]
            Akan tetapi menghadapi kenyataan tersebut tidak usah diartikan, bahwa kita tidak usah berikhtiar mencoba untuk memahami dan merumuskan “agama” itu sejauh kemampuan kita.

Pluralitas dan Pluralisme Agama
            Realitas keragaman Bangsa Indonesia tidak hanya ada pada tingkah laku dan budaya atau tradisi saja, akan tetapi juga di dalam agama. Kenyataan Plural sangat mudah dilihat dari berbagai kegiatan ritus umat beragama, terutama pada perayaan hari-hari besar mereka. Setiap agama mempunyai tradisi merayakan hari besar agama yang dianggap sebagai hari suci mereka. Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha diperingati oleh umat Islam; Hari Natal, Kenaikan dan Wafatnya Isa Al-Masih oleh umat kristiani; Imlek oleh umat beragama Konghuchu; serta Hari Raya Nyepi dan Waisak diperingati oleh umat beragama Hindhu dan Budha menjadi bukti keragaman nyata dalam menjalankan agama masing-masing kelompok.[4]
            Sejak masa nabi sendiri, umat Islam sudah tidak asing dengan suasana kehidupan yang plural atau majemuk. Rachman menyebutkan, “Pluralitas itu memang tidak menyangkut masalah-masalah asasi seperti keimanan dan ketakwaan, melainkan disebabkan oleh peradaban latar belakang masing-masing pribadi dan kelompok kalangan umat itu sejak dari dahulu”. Sisa-sisa primordial seperti faktor keturunan, kesukuan, kedaerahan, dan sosial budaya lainnya menjadi sangat berperan bagi realitas kehidupan plural dalam masyarakat, termasuk masyarakat Islam.[5] Hendar Riyadi pernah menuliskan dalam bukunya, “Pluralitas atau kebinekaan agama merupakan suatu kenyataan aksiomatis (yang tidak bisa dibantah) dan merupakan keniscayaan sejarah(historical necessery) yang bersifat universal”.[6] Pluralitas merupakan keniscayaan/sunnatullah, karena proses sejarah dan akulturasi yang berbeda-beda. Sedangkan pluralisme merupakan paham yang berusaha melindungi dan mempertahankan pluralitas secara apa adanya. Definisi MUI tentang pluralisme adalah definisi gegabah yang sempit, karenanya yang penulis pahami dari Gus Dur adalah semua agama sama dalam cita-cita luhur dan mulia dalam memperjuangkan relasi vertikal dan horizontal yang harmonis, karena tidak ada agama yang secara jelas mengajak dan mengajarkan kejahatan dan keburukan. Mundzirin mendefinisikan pluralisme sebagai suatu pandangan yang mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling mendukung untuk bisa hidup secara damai”.[7] Selama ini istilah pluralisme , terutama dalam bidang agama sering diidentikkan dengan barat. Padahal berbagai bentrokan dan konflik yang sering terjadi di kalangan masyarakat kita terjadi karena pengaruh orang-orang barat itu sendiri. Selama ini orang Barat yang dianggap pluralis, belum menerapkan pandangannya itu dalam wilayah yang lebih luas, yaitu hubungan antar-agama.
            Armahedi Azhar melihat ada lima penyakit yang menghinggapi para aktivis gerakan keagamaan seperti yang dikutip oleh Muhammad Fauzinuddin, yaitu : absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah emosional, ekstremisme adalah sikap yang berlebihan dan agresivisme adalah tindakan fisik yang berlebihan.[8]
Probabilitas Penyebab Konflik antar Agama dan Langkah Solutif dalam Menyelesaikannya.
            Konflik dan/atau ketegangan lintas agama yang  sering terjadi di Indonesia menjadikan penulis memaparkan probabilitas-probabilitas penyebab tergerusnya kerukunan umat bergama, bahkan dengan cepat berubah menjadi konflik lintas agama, bahkan konflik atas sesama umat Islam. Pembunuhan Utsman ibn Affan adalah contoh klasik pertama dan utama konflik sesama sahabat nabi, dan contoh-contoh konflik lain dewasa ini bisa kita lihat dengan eksistensi Ahmadiyyah dalam agama Islam. Dan ini hanyalah contoh kecil sebagai “trigger” dari diskusi kita mengenai probabilitas ketegangan dan konflik antar agama di Indonesia, yang penyebabnya sebetulnya bisa jauh lebih luas, njelimet dan kompleks. Untuk itu Suwarno mencoba mentabulasi serangkaian probabilitas penyebab konflik dan upaya yang dianggap solutif dalam menyelesaikannya.
            Pertama, tidak adanya pemisahan antara agama dan negara. Bila hukum dan kebijaksanaan negara banyak dipengaruhi agama dan perpolitikan dengan agama, maka akan cenderung sektarian, lebih-lebih apabila salah satu agama menjadi dominan. Dalam situasi seperti ini sengaja maupun tidak agama lain pasti akan dikalahkan, karena setiap agama disadari atau tidak merupakan organisasi yang bersaing satu sama lain. Campur tangan agama dalam urusan negara, apalagi negara plural/majemuk, seharusnya dibatasi.
            Kedua, kurangnya penegakan hukum atau pembentukan hukum yang cenderung sektarian. Dalam negara hukum yang melakukan tindakan kekerasan atas keyakinan agama oleh rakyat biasa tidak bisa dibenarkan dan harus dihukum. Pembuatan undang-undang juga harus menekankan kepentingan semua rakyat yang pluralis. Pembiaran tindakan kekerasan berdasarkan keyakinan keagamaan dan pembuatan undang-undang yang sektarian pasti akan menimbulkan ketegangan selain ketidak adilan itu sendiri.
            Ketiga, Kekerasan dan penghakiman atas nama agama serta kurangnya penegak hukum,. Beberapa kelompok agama melakukan penghakiman berdasarkan keyakinan dan sering tidak berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Ada juga kelompok agama yang menghakimi kelompok lain berdasarkan keyakinan bahwa kelompok lain tersebut bersalah dan harus dihukum. Kedamaian lintas agama hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
            Keempat, adanya kehausan dan kekuasaan. Kelompok agama dan para pemimpin agama ternyata memang sangat senang kekuasaan termasuk kekuasaan politis. Kita sudah sering dengar bahwa kekuasaan politis yang dimiliki siapapun, termasuk agamawan, cenderung korup. Paling tidak mereka selalu ingin menang dan lebih unggul dari yang lain dengan cara-cara yang tidak agamis. Peperangan politis yang membawa agama sudah kita ketahui sering membawa konflik; dan kalau politik itu membawa bendera agama, maka konflik politik dan konflik agama bercampur dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini mempertimbangkan motto Nurcholis Madjid “Islam YES, Islamic Party NO,” sangat signifikan bagi terciptanya kerukunan.
            Kelima, Meningkatnya fundamentalisme dan radikalisme dibarengi oleh menguatnya keyakinan akan adanya kebenaran dan interpretasi teks agama yang tunggal. Masyarakat agama yang feodal akan cenderung memfasilitasi terjadinya interaksi keagamaan yang dipenuhi oleh usaha untuk menyatukan interpretasi mengenai kehendak Allah yang dianggap sudah pasti dalam kitab sucinya. Meningkatnya fundamentalisme dan interpretasi tunggal, kemungkinan besar menuju bertambahnya sikap dan tindakan yang tak kenal negosiasi apalagi kompromi karena berkembangnya keyakinan akan adanya kebenaran absolut. Untuk menanggulangi maslah seperti ini perlu dikembangkan pluralisme pikiran dan pandangan dalam agama dan beragama yang memaksa pengikut agama membiasakan diri dengan melihat adanya perbedaan pandangan dan menghargai perbedaan tersebut dengan tetap memperbolehkan usaha saling meyakinkan. Untuk menghadapi keyakinan dan interpretasi tunggal dan absolut yang memupuk anti pluralisme dan pengkafiran terhadap mereka yang berbeda, penting sekali memupuk tradisi ijtihad yang memberikan pembebasan para agamawan untuk memikirkan apa yang terbaik bagi keyakinan dan kehidupan masyarakat agama di era modern yang serba kompleks.
            Keenam, Bekurangnya Public Space, sejalan dengan semakin meningkatnya fundamentalisme dan berkurangnya moderatisme, maka banyak sekali pembangunan atau pendirian tempat ataupun organisasi bercirikan agama tertentu yang mengambil ruang lingkup interaksi umum. Bukan hanya sekolah ataupun rumah sakit tetapi juga bank dan Pom bensin; organisasi yang berkembang pesat sekarang ini adalah organisasi keagamaan. Dengan demikian ruang publik  yang boleh diikuti oleh semua orang tanpa pandang bulu semakin berkurang, yang berakibat kurangnya interaksi plural. Keadaan seperti ini tidak hanya menimbulkan ketidak tahuan mengenai kelompok lain, melainkan juga menimbulkan kecurigaan karena ketidaktahuan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kecurigaan mudah berubah menjadi kebenciandan ketegangan sosial yang mudah menyulut konflik. Oleh karena itu public space penting sekali dalam menangkal ketegangan dan konflik lintas agama.
            Ketujuh, kekurangdewasaan menyebabkan mereka yang mengaku hamba-hamba Allah yang taat terperosok dalam sikap dan tindakan emosional. Sikap dan tindakan emosional ini mudah sekali menyulut ketegangan, perpecahan, dan konflik. Dalam masyarakat yang kurang bisa menjaga emosi secara dewasa, segala sesuatu yang dianggap menghina kepercayaan atau iman seseorang, sekecil apapun,bisa mengakibatkan kekerasan dan destruksi dalam skala yang luar biasa besar. Dalam hal ini yang terpenting bukan hanya penekanan bagi para agamawan bahwa kekerasan aktif tanpa perlawanan dalam bentuk apapun dengan alasan apapun tidak dibenarkan, tetapi juga negara harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meskipun kekerasan itu dilakukan atas nama agama.
            Kedelapan, tidak adanya atau kurang berkembangnya wadah komunikasi antar agama. Walaupun di Indonesia sudah didirikan beberapa LSM lintas agama, yang aktif berpartisipasi hanyalah mereka yang punya keyakinan akan pentingnya pluralisme. Mereka terdiri dari para kelompok terdidik yang sudah setuju dari awal akan pentingnya kerukunan antar umat beragama dan bukan sebagian besar pengikut dan pimpinan agama. Bahkan ada ketidakjujuran dari beberapa pemimpin agama yang turut dalam dialog antar agama, yaitu beberapa dari mereka yang cukup getol mengumandangkan pluralisme dan toleransi dalam forum antar umat agama, akan tetapi tidak mengampanyekan hal yang sama dalam kelompok agamanya sendiri. Oleh karena itu penting sekali mengampanyekan dialog antar agama dan ketulusan dalam berpartisipasi di dalamnya.
            Sembilan, Pemimpin dan Masyarakat agama cenderung menekankan pentingnya fikih dari pada akhlak, religiuous purification dari pada religious compassion. Sehingga pengajaran agama dan praktek kehidupan beragama bukan hanya cenderung vertikal dan kurang horizontal, tetapi juga tidak sensitif dan kurang aktif mengatasi masalah mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kecenderungan seperti ini masyarakat agamawi cenderung memikirkan pengalaman ritus keagamaan termasuk bagaimana bisa masuk surga dan bukan bagaimana secara tulus ikhlas menciptakan kedamaian, pengorbanan yang penuh kasih sayang dan menyejahterakan kehidupan seluruh umat manusia dan bukan dirinya sendiri maupun kelompoknya sendiri.[9]
            Terakhir, Dalam hal ini kesenjangan ekonomi, politik, dan budaya harus betul-betul mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Di sisi lain, pendekatan inklusif harus ditingkatkan menjadi pendekatan yang pluralis. Pluralisme tidak mengandaikan bahwa semua perbedaan harus difusi dalam satu identitas tunggal, seperti proyek “budaya nasional” atau identitas nasionalnya Orde Baru. Semua perbedaan harus mendapatkan tempat pengakuan dalam kehidupan publik. Perbedaan tidak hanya harus diakui, melainkan juga diangkat dan dirayakan. Pluralisme tidak harus mencari titik temu persamaan, sebab perbedaan adalah keniscayaan/sunnatullah. Yang lebih signifikan untuk dilakukan adalah bagaimana hidup damai dalam perbedaan.[10]
            Tidak Mudah mengatasi masalah-masalah tersebut dalam era reformasi yang masih penuh ketidakpastian di Indonesia, Namun penulis yakin, apabila kesepuluh poin di atas bisa diatasi dan/atau dihindarkan, atau paling tidak direduksi/diperbaiki, maka konflik akan dapat ditanggulangi dan diselesaikan, dan perdamaianpun bisa diciptakan.


[1] Fachroeddin Al- Kahiri, Islam Menoeroet Faham Filosofie, Choetbah di radio V.O.R.L., (Bandoeng : kemajoean Islam Djokdjakarta, 1938), hal. 6.
[2] Bahrum Rangkuti, Jalan kepada Al-Qur’an & Bahasa Arab, diktat ceramah, no. 2, Th. 1, Kebayoran Baru, 10-6-’68.
[3] A. Mukti Ali, Agama, Universitas, dan Pembangunan, (Bandung: Badan Penerbit IKIP,1971), hal. 4.
[4] Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme: Etika Al-Qur’an tentang keragaman Agama, (Jakarta: R.M. Books, 2007), hal.1
[5] Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan, 2006), hal. 2707.
[6] Hendar Riyadi, op.cit., hal. 59.
[7] Muundzirin Yusuf, dkk., Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. 30.
[8] Abdul Kadir Riyadi, Muhammad Fauzinuddin, dkk., Bilik-bilik Islam, Renungan dari Lorong Rusunawa Pesantren, (Surabaya: Imtiyaz Press, 2012), hal. 79.
[9] Peter Suwarno, dkk. Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, dari Konflik Agama hingga Mediasi Peradilan, (Semarang: WMC IAIN Walisongo Semarang, 2007), hal. 22-26
[10] Abdul Kadir Riyadi, Muhammad Fauzinuddin, dkk., op.cit., hal. 81.

No comments:

Post a Comment