Indonesia
dalam Perspektif Agama
Oleh
: Muhammad Fauzinuddin
Interaksi sosial antar umat manusia
membuka dua dimensi, yakni harmoni dan konflik. Harmoni terbangun ketika ketika
masing-masing pihak berusaha untuk saling memahami, mengedepankan toleransi, dan
menepis berbagai prasangka negatif terhadap yang lain. Dengan cara demikian,
akan tercipta sebuah kehidupan yang rukun dan penuh dengan kedamaian.
Sebaliknya, konflik terjadi ketika masing-masing pihak memegang dengan kukuh
kebenaran yang diyakininya tanpa kompromi, melihat pihak lain sebagai lawan
yang harus dikuasai, dan harus ditundukkan. Jika satu pihak, apalagi
masing-masing pihak memegang dengan kukuh sikap semacam ini, maka konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat untuk dihindari. Perbenturan kepentingan,
hasrat menguasai, dan sikap arogan, menjadi sebab determinan bagi lahir dan
berkembangnya sebuah konflik.-
Jika kita berbicara Indonesia dalam
kaitannya dengan keharmonisan dan konflik, maka yang lebih dominan terbesit
dalam puncak klasemen aksentuasi kita adalah tentang sosial-keagamaan,
bagaimana tidak, hal ini sudah berakar dan menjamur, dan kelihatannya akan
terus berlangsung karena beberapa hal. Hakikatnya ketegangan semacam ini tidak
hanya terjadi di Indonesia, di belahan dunia pun juga terjadi konflik serupa meskipun
tidak serumit dan sekompleks di negara yang pernah dijajah belanda dan jepang,
ini karena Indonesia merupakan penduduk dengan agama dan etnis terbanyak di
antara negara-negara lain.
Pengertian
Agama
Kerap kali kita
membaca dan mendengar orang mencoba mencari dan menerangkan arti agama dari segi etimologi, bahwa agama
berasal dari dua kata: a = tidak dan gama = kocar-kacir atau berantakan.
Jadi arti kata “agama” adalah tidak kocar-kacir, atau tidak berantakan.
Lebih jelas lagi kata agama itu adalah teratur, beres. Teori yang kuat sekali
diduga berasal dari Fachroeddin Al-Kahiri ini sering kali dikutip dalam
ceramah-ceramah dan dalam tulisan-tulisan, baik dalam brosur-brosur,
majalah-majalah, buletin-buletin, maupun buku-buku.[1]
Berbicara tentang mencari arti agama
dari segi etimologi, menarik sekali kalau kita simak uraian Bahrum Rangkuti,
seorang cendekiawan muslim yang ahli bahasa (baca : languist) dan sekaligus
mantan sekjen departemen agama era 70-an (sekarang depag berubah nama menjadi
kemenag), dalam salah satu diktatnya, ada beberapa uraian menarik. Menurut
beliau agama berasal dari bahasa sansekerta: a-gama (tanda (-) artinya
dalam pelafalan dibaca panjang). Masih menurut Bahrum, orang-orang yang mengatakan
bahwa agama diambil dari kata : a = tidak, gama = kacau, jadi : agama = tidak
kacau. Ini sebenarnya tidak ilmiah, oleh karena yang menerangkan itu belum mengetahui
bahasa sansekerta. Memang (a) dalam bahasa kita = tidak, seperti : aneka. A =
tidak, eka = satu, jadi aneka = tidak satu/beragam. Tapi kalau (a) panjang a-gama,
artinya a = cara, jalan, the way; gama, mulanya gam adalah bahasa
Indo Germania = bahasa inggris to go = berjalan, maksudnya adalah
cara-cara agar sampai kepada keridloan tuhan.[2]
Sedangkan mencari pengertian dan
definisi agama dari sisi terminologi menurut mantan menteri agama Mukti Ali merupakan
hal yang paling sulit. Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ali, sapaan akrabnya. Pertama,
karena pengalaman agama itu adalah soal bathini dan subyektif, juga sangat
individualistis. Kedua, barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu
bersemangat dan emosional lebih dari pada membicarakan agama, maka dalam
membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali sehingga sulit
memberikan arti kalimat agama itu. Ketiga, konsepsi tentang agama akan
dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu. [3]
Akan tetapi menghadapi kenyataan
tersebut tidak usah diartikan, bahwa kita tidak usah berikhtiar mencoba untuk
memahami dan merumuskan “agama” itu sejauh kemampuan kita.
Pluralitas
dan Pluralisme Agama
Realitas
keragaman Bangsa Indonesia tidak hanya ada pada tingkah laku dan budaya atau
tradisi saja, akan tetapi juga di dalam agama. Kenyataan Plural sangat mudah
dilihat dari berbagai kegiatan ritus umat beragama, terutama pada perayaan
hari-hari besar mereka. Setiap agama mempunyai tradisi merayakan hari besar
agama yang dianggap sebagai hari suci mereka. Hari Raya Idul Fitri dan Idul
Adha diperingati oleh umat Islam; Hari Natal, Kenaikan dan Wafatnya Isa
Al-Masih oleh umat kristiani; Imlek oleh umat beragama Konghuchu; serta Hari
Raya Nyepi dan Waisak diperingati oleh umat beragama Hindhu dan Budha menjadi
bukti keragaman nyata dalam menjalankan agama masing-masing kelompok.[4]
Sejak masa nabi sendiri, umat Islam
sudah tidak asing dengan suasana kehidupan yang plural atau majemuk. Rachman menyebutkan,
“Pluralitas itu memang tidak menyangkut masalah-masalah asasi seperti keimanan
dan ketakwaan, melainkan disebabkan oleh peradaban latar belakang masing-masing
pribadi dan kelompok kalangan umat itu sejak dari dahulu”. Sisa-sisa primordial
seperti faktor keturunan, kesukuan, kedaerahan, dan sosial budaya lainnya
menjadi sangat berperan bagi realitas kehidupan plural dalam masyarakat,
termasuk masyarakat Islam.[5] Hendar
Riyadi pernah menuliskan dalam bukunya, “Pluralitas atau kebinekaan agama merupakan
suatu kenyataan aksiomatis (yang tidak bisa dibantah) dan merupakan keniscayaan
sejarah(historical necessery) yang bersifat universal”.[6] Pluralitas
merupakan keniscayaan/sunnatullah, karena proses sejarah dan akulturasi
yang berbeda-beda. Sedangkan pluralisme merupakan paham yang berusaha
melindungi dan mempertahankan pluralitas secara apa adanya. Definisi MUI
tentang pluralisme adalah definisi gegabah yang sempit, karenanya yang penulis
pahami dari Gus Dur adalah semua agama sama dalam cita-cita luhur dan mulia
dalam memperjuangkan relasi vertikal dan horizontal yang harmonis, karena tidak
ada agama yang secara jelas mengajak dan mengajarkan kejahatan dan keburukan. Mundzirin
mendefinisikan pluralisme sebagai suatu pandangan yang mendorong bahwa berbagai
macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling mendukung untuk bisa
hidup secara damai”.[7]
Selama ini istilah pluralisme , terutama dalam bidang agama sering diidentikkan
dengan barat. Padahal berbagai bentrokan dan konflik yang sering terjadi di
kalangan masyarakat kita terjadi karena pengaruh orang-orang barat itu sendiri.
Selama ini orang Barat yang dianggap pluralis, belum menerapkan pandangannya
itu dalam wilayah yang lebih luas, yaitu hubungan antar-agama.
Armahedi Azhar melihat ada lima
penyakit yang menghinggapi para aktivis gerakan keagamaan seperti yang dikutip
oleh Muhammad Fauzinuddin, yaitu : absolutisme, eksklusivisme, fanatisme,
ekstremisme dan agresivisme. Absolutisme adalah kesombongan intelektual,
eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah emosional,
ekstremisme adalah sikap yang berlebihan dan agresivisme adalah tindakan fisik
yang berlebihan.[8]
Probabilitas
Penyebab Konflik antar Agama dan Langkah Solutif dalam Menyelesaikannya.
Konflik dan/atau
ketegangan lintas agama yang sering
terjadi di Indonesia menjadikan penulis memaparkan probabilitas-probabilitas
penyebab tergerusnya kerukunan umat bergama, bahkan dengan cepat berubah
menjadi konflik lintas agama, bahkan konflik atas sesama umat Islam. Pembunuhan
Utsman ibn Affan adalah contoh klasik pertama dan utama konflik sesama sahabat
nabi, dan contoh-contoh konflik lain dewasa ini bisa kita lihat dengan
eksistensi Ahmadiyyah dalam agama Islam. Dan ini hanyalah contoh kecil sebagai
“trigger” dari diskusi kita mengenai probabilitas ketegangan dan konflik antar
agama di Indonesia, yang penyebabnya sebetulnya bisa jauh lebih luas, njelimet
dan kompleks. Untuk itu Suwarno mencoba mentabulasi serangkaian probabilitas
penyebab konflik dan upaya yang dianggap solutif dalam menyelesaikannya.
Pertama, tidak adanya
pemisahan antara agama dan negara. Bila hukum dan kebijaksanaan negara banyak
dipengaruhi agama dan perpolitikan dengan agama, maka akan cenderung sektarian,
lebih-lebih apabila salah satu agama menjadi dominan. Dalam situasi seperti ini
sengaja maupun tidak agama lain pasti akan dikalahkan, karena setiap agama
disadari atau tidak merupakan organisasi yang bersaing satu sama lain. Campur
tangan agama dalam urusan negara, apalagi negara plural/majemuk, seharusnya
dibatasi.
Kedua, kurangnya penegakan
hukum atau pembentukan hukum yang cenderung sektarian. Dalam negara hukum yang
melakukan tindakan kekerasan atas keyakinan agama oleh rakyat biasa tidak bisa
dibenarkan dan harus dihukum. Pembuatan undang-undang juga harus menekankan kepentingan
semua rakyat yang pluralis. Pembiaran tindakan kekerasan berdasarkan keyakinan
keagamaan dan pembuatan undang-undang yang sektarian pasti akan menimbulkan
ketegangan selain ketidak adilan itu sendiri.
Ketiga, Kekerasan dan
penghakiman atas nama agama serta kurangnya penegak hukum,. Beberapa kelompok
agama melakukan penghakiman berdasarkan keyakinan dan sering tidak berdasarkan
hukum yang berlaku di Indonesia. Ada juga kelompok agama yang menghakimi
kelompok lain berdasarkan keyakinan bahwa kelompok lain tersebut bersalah dan
harus dihukum. Kedamaian lintas agama hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum
tanpa pandang bulu.
Keempat, adanya kehausan dan
kekuasaan. Kelompok agama dan para pemimpin agama ternyata memang sangat senang
kekuasaan termasuk kekuasaan politis. Kita sudah sering dengar bahwa kekuasaan
politis yang dimiliki siapapun, termasuk agamawan, cenderung korup. Paling
tidak mereka selalu ingin menang dan lebih unggul dari yang lain dengan
cara-cara yang tidak agamis. Peperangan politis yang membawa agama sudah kita
ketahui sering membawa konflik; dan kalau politik itu membawa bendera agama,
maka konflik politik dan konflik agama bercampur dan saling mempengaruhi. Dalam
hal ini mempertimbangkan motto Nurcholis Madjid “Islam YES, Islamic Party NO,”
sangat signifikan bagi terciptanya kerukunan.
Kelima, Meningkatnya
fundamentalisme dan radikalisme dibarengi oleh menguatnya keyakinan akan adanya
kebenaran dan interpretasi teks agama yang tunggal. Masyarakat agama yang feodal
akan cenderung memfasilitasi terjadinya interaksi keagamaan yang dipenuhi oleh
usaha untuk menyatukan interpretasi mengenai kehendak Allah yang dianggap sudah
pasti dalam kitab sucinya. Meningkatnya fundamentalisme dan interpretasi tunggal,
kemungkinan besar menuju bertambahnya sikap dan tindakan yang tak kenal
negosiasi apalagi kompromi karena berkembangnya keyakinan akan adanya kebenaran
absolut. Untuk menanggulangi maslah seperti ini perlu dikembangkan pluralisme
pikiran dan pandangan dalam agama dan beragama yang memaksa pengikut agama
membiasakan diri dengan melihat adanya perbedaan pandangan dan menghargai
perbedaan tersebut dengan tetap memperbolehkan usaha saling meyakinkan. Untuk
menghadapi keyakinan dan interpretasi tunggal dan absolut yang memupuk anti pluralisme
dan pengkafiran terhadap mereka yang berbeda, penting sekali memupuk tradisi
ijtihad yang memberikan pembebasan para agamawan untuk memikirkan apa yang
terbaik bagi keyakinan dan kehidupan masyarakat agama di era modern yang serba
kompleks.
Keenam, Bekurangnya Public
Space, sejalan dengan semakin meningkatnya fundamentalisme dan berkurangnya
moderatisme, maka banyak sekali pembangunan atau pendirian tempat ataupun
organisasi bercirikan agama tertentu yang mengambil ruang lingkup interaksi
umum. Bukan hanya sekolah ataupun rumah sakit tetapi juga bank dan Pom bensin;
organisasi yang berkembang pesat sekarang ini adalah organisasi keagamaan.
Dengan demikian ruang publik yang boleh
diikuti oleh semua orang tanpa pandang bulu semakin berkurang, yang berakibat
kurangnya interaksi plural. Keadaan seperti ini tidak hanya menimbulkan ketidak
tahuan mengenai kelompok lain, melainkan juga menimbulkan kecurigaan karena
ketidaktahuan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kecurigaan mudah berubah
menjadi kebenciandan ketegangan sosial yang mudah menyulut konflik. Oleh karena
itu public space penting sekali dalam menangkal ketegangan dan konflik
lintas agama.
Ketujuh, kekurangdewasaan
menyebabkan mereka yang mengaku hamba-hamba Allah yang taat terperosok dalam
sikap dan tindakan emosional. Sikap dan tindakan emosional ini mudah sekali
menyulut ketegangan, perpecahan, dan konflik. Dalam masyarakat yang kurang bisa
menjaga emosi secara dewasa, segala sesuatu yang dianggap menghina kepercayaan
atau iman seseorang, sekecil apapun,bisa mengakibatkan kekerasan dan destruksi
dalam skala yang luar biasa besar. Dalam hal ini yang terpenting bukan hanya
penekanan bagi para agamawan bahwa kekerasan aktif tanpa perlawanan dalam
bentuk apapun dengan alasan apapun tidak dibenarkan, tetapi juga negara harus
menegakkan hukum tanpa pandang bulu, meskipun kekerasan itu dilakukan atas nama
agama.
Kedelapan, tidak adanya atau
kurang berkembangnya wadah komunikasi antar agama. Walaupun di Indonesia sudah
didirikan beberapa LSM lintas agama, yang aktif berpartisipasi hanyalah mereka
yang punya keyakinan akan pentingnya pluralisme. Mereka terdiri dari para
kelompok terdidik yang sudah setuju dari awal akan pentingnya kerukunan antar
umat beragama dan bukan sebagian besar pengikut dan pimpinan agama. Bahkan ada
ketidakjujuran dari beberapa pemimpin agama yang turut dalam dialog antar
agama, yaitu beberapa dari mereka yang cukup getol mengumandangkan pluralisme
dan toleransi dalam forum antar umat agama, akan tetapi tidak mengampanyekan
hal yang sama dalam kelompok agamanya sendiri. Oleh karena itu penting sekali
mengampanyekan dialog antar agama dan ketulusan dalam berpartisipasi di
dalamnya.
Sembilan, Pemimpin dan
Masyarakat agama cenderung menekankan pentingnya fikih dari pada akhlak, religiuous
purification dari pada religious compassion. Sehingga pengajaran
agama dan praktek kehidupan beragama bukan hanya cenderung vertikal dan kurang
horizontal, tetapi juga tidak sensitif dan kurang aktif mengatasi masalah mendasar
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kecenderungan seperti ini masyarakat
agamawi cenderung memikirkan pengalaman ritus keagamaan termasuk bagaimana bisa
masuk surga dan bukan bagaimana secara tulus ikhlas menciptakan kedamaian,
pengorbanan yang penuh kasih sayang dan menyejahterakan kehidupan seluruh umat
manusia dan bukan dirinya sendiri maupun kelompoknya sendiri.[9]
Terakhir, Dalam
hal ini kesenjangan ekonomi, politik, dan budaya harus betul-betul mendapat
porsi perhatian yang lebih besar. Di sisi lain, pendekatan inklusif harus
ditingkatkan menjadi pendekatan yang pluralis. Pluralisme tidak mengandaikan
bahwa semua perbedaan harus difusi dalam satu identitas tunggal, seperti proyek
“budaya nasional” atau identitas nasionalnya Orde Baru. Semua perbedaan harus
mendapatkan tempat pengakuan dalam kehidupan publik. Perbedaan tidak hanya
harus diakui, melainkan juga diangkat dan dirayakan. Pluralisme tidak harus
mencari titik temu persamaan, sebab perbedaan adalah keniscayaan/sunnatullah.
Yang lebih signifikan untuk dilakukan adalah bagaimana hidup damai dalam
perbedaan.[10]
Tidak Mudah mengatasi
masalah-masalah tersebut dalam era reformasi yang masih penuh ketidakpastian di
Indonesia, Namun penulis yakin, apabila kesepuluh poin di atas bisa diatasi
dan/atau dihindarkan, atau paling tidak direduksi/diperbaiki, maka konflik akan
dapat ditanggulangi dan diselesaikan, dan perdamaianpun bisa diciptakan.
[1]
Fachroeddin Al- Kahiri, Islam Menoeroet Faham Filosofie, Choetbah di radio
V.O.R.L., (Bandoeng : kemajoean Islam Djokdjakarta, 1938), hal. 6.
[2] Bahrum
Rangkuti, Jalan kepada Al-Qur’an & Bahasa Arab, diktat ceramah, no.
2, Th. 1, Kebayoran Baru, 10-6-’68.
[3] A. Mukti
Ali, Agama, Universitas, dan Pembangunan, (Bandung: Badan Penerbit
IKIP,1971), hal. 4.
[4] Hendar
Riyadi, Melampaui Pluralisme: Etika Al-Qur’an tentang keragaman Agama, (Jakarta:
R.M. Books, 2007), hal.1
[5] Budhy
Munawar Rachman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan, 2006),
hal. 2707.
[6] Hendar
Riyadi, op.cit., hal. 59.
[7]
Muundzirin Yusuf, dkk., Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. 30.
[8] Abdul
Kadir Riyadi, Muhammad Fauzinuddin, dkk., Bilik-bilik Islam, Renungan dari
Lorong Rusunawa Pesantren, (Surabaya: Imtiyaz Press, 2012), hal. 79.
[9] Peter
Suwarno, dkk. Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia, dari Konflik Agama
hingga Mediasi Peradilan, (Semarang: WMC IAIN Walisongo Semarang, 2007),
hal. 22-26
[10] Abdul
Kadir Riyadi, Muhammad Fauzinuddin, dkk., op.cit., hal. 81.
No comments:
Post a Comment