Dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik,
terdapat konsep dan mekanisme pemberdayaan masing-masing. Hukum misalnya,
melalui mekanisme bantuan hukum, memiliki konsep pemberdayaan untuk kelompok
sasarannya. Pemberdayaan itu dilakukan dengan membangun kesadaran hukum
masyarakat, agar tidak memahami kasus hukum yang dialaminya dari sudut hukum
semata, tetapi juga konteks sosial politik dan ekonomi, bahkan budayanya.
Seorang pakar bantuan hukum mengatakan, tujuan utama
bantuan hukum yakni penyadaran untuk memperdayakan kelompok sasaran, yakni
mereka yang buta hukum dan miskin. Dari konsep itu, lalu muncul lembaga-lembaga
semacam paralegal, yakni individu-individu yang terlibat perkara hukum dididik
untuk memperdayakan diri dan kelompoknya sendiri dalam menghadapi dan
menyelesaikan persolannya. Tanpa harus menunggu turun tangannya aparatur
negara, yang kadang justru tidak menguntungkan mereka.
Di bidang ekonomi, mekanisme pemberdayaannya bisa merujuk
ada mekanisme yang dikembangkan melalui institusi koperasi . Secara konseptual,
institusi tersebut merupakan mekanisme pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan
cara melibatkan mereka langsung dalam aktivitas-aktivitas perekonomian di
koperasi. Atau, konsep bapak asuh-anak asuh, yakni perusahaan-perusahaan besar
mendidik pengusaha-pengusaha kecil yang menjadi partner usahanya, agar bisa
berkembang besar. Biarkan negara menjadi penonton atau aturan mainnya, serta mengawasi
secara pasif, kalau-kalau ada kasus.
Produk dari pendidikan seperti itu, yakni tampilnya
pribadi-pribadi yang mandiri. Selain di tingkat micro seperti itu, maka tingkat
macronya berupa upaya pembangunan iklim kehidupan yang lebih leluasa dan mendukung
pemberdayaan publik.
Dalam zaman postmodernism ini, semua bidang
mengalami dekonstruksi, termasuk peran negara. Seberapa pun besarnya dan terstrukturnya organisasi yang bernama
negara, tidak akan meraup atau mengurusi semua tetek-bengek kebutuhan hidup
rakyatnya, yang beraneka ragam dan terus berkembang tiada henti. Organisasi
yang sangat besar dan sudah terstruktur, terbukti justru menjelma menjadi sosok
yang lamban, birokratis, bertele-tele, biaya mahal, dan selalu selalu
ketinggalan dengan akselerasi kebutuhan hidup rakyatnya. Hal itu nyaris terjadi
dalam semua bidang.
Negara bukan lagi diterima dan diakui sebagi satu-satunya
kekuatan dan kekuasaan yang sah sehingga kekuasaan lain yang ada di dalam
negara itu harus enyah. Dominasi dan hegemoni negara atas semua urusan
kehidupan rakyatnya, bukan zamannya lagi. Sentra-sentra kekuatan dalam negara,
yang memasuki semua wilayah urusan kemasyarakatan dan terlegitimasi di mata
rakyat, karena secara riil dan konkret dirasakan manfaat kehadirannya, sekarang
tersebar di mana-mana.
Sentra-sentra kekuatan itu, bahkan merupakan resultan
dari kreativitas masyarakat, yang tidak bisa dibendung lagi. Lantaran,
mengetahui dan mengalami kegagalan negara dalam melayani mereka, baik di bidang
hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan keamanan.
Penelitian Fernando des oto dari peru, menjelaskan bahwa
karena berbagi kebutuhan masyarakat tidak dapat dipuaskan oleh birokrasi
pemerintahan dengan baik, maka di negara itu akhirnya masyarakat membangun
sendiri semacam ‘pemerintahan informal’ atau ‘pemerintahan tandingan’. Maka di
banyak negara, kini muncul permukiman transportasi, pasar, dan lainnya, yang
inisiatif keberadaan dan pengelolaannya murni dari dan oleh pihak-pihak
informal, bukan pemilik pemerintah resmi.
Apalagi kalau kita melihat pendapatnya Satjito Raharjo,
guru besar fakultas hukum universitas Diponegoro dalam sebuah tulisannya,
perkembangan itu tidak dapat dihentikan dengan mengecap pertimbangan itu
sebagai sesuatu yang negatif dan salah, karena itu harus dilarang. Pandangan
dan sikap seperti ini, malah menyebabkan matinya dinamika positif yang tengah
terjadi dalam masyarakat, akibat kegagalan pemerintah sendiri. Tentu saja
rakyat tidak bisa diharapkan untuk menunggu dan membiarkan kegagalan negara
ini, karena menyangkut kepentingan hidup mereka yang vital.
Sekarang, negara sudah kehilangan citranya sebagai
raksasa yang mampu memberi kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyatnya. Era
negara sesungguhnya sudah lewat sejak akhir 2010 dan digantikan bermunculnya berbagai sentra
kekuatan yang menyebar. Sentra itu tidak “melawan” negara, melainkan sekedar
mengisi hal-hal yang gagal dilakukan dan ditangani oleh negara serta
pemerintah.
Karena itu, tidak perlu terlalu mencurigai kiprak LSM
dalam memberdayakan rakyat di semua bidang, inisiatif mahasiswa sebagai agent
of change dalam membangun sarana-sarana umum bagi rakyat di lokasi
pengabdian mereka, atau pendidikan politik oleh parpol terhadap konstituennya.
Semua dalam rangka memberdayakan rakyat untuk membangkitkan kemandirian mereka,
menambal sulam kelemahan dan kelambanan birokrasi. Dengan demikian, dinamika
sosial dari sentra-sentra kekuatan di masyarakat ini, tidak perlu membangkitkan
suasana pertentangan diametral dengan pemerintah.
Hanya yang harus dilakukan bersama__ bukan hanya oleh
pemerintah, tetapi juga rakyat dan para
penggerak dan aktivis sosial__, yakni menjaga aagar gerakan sosial dari
pihak-pihak swasta atau ‘pemerintahan formal’ tersebut, benar-benar bisa tetap
menghasilkan hal-hal yang positif dan produktif bagi bangsa ini. Karena itu, tidak boleh menimbulkan problem
baru yang menimbulkan saling kecurigaan, saling serang atau saling menjatuhkan
antara ‘pemerintah formal’ dengan ‘pemerintah nonformal’, karena pada akhirnya
, rakyatlah yang malah dirugikan dan dikorbankan. Bukankah landasan teoritis
dan orientasi keberadaan ‘pemerintah formal’ yang menggerakkan dan
memberdayakan rakyat itu, semata-mata ingin mengatasi persoalan yang ada di
tengah kehidupan rakyat, namun gagal diemban oleh negara dan pemerintah? Tujuan
itu hanya akan terealisasi kalau masing-masing salaing melengkapi, saling
menunjang, saling berpartisipasi dalam koridor mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan sosial.
Tulisan Ini pernah dimuat di koran SINDO edisi 22 Nopember 2011
No comments:
Post a Comment