Wednesday, April 24, 2013

Pemerintah Tandingan



           
                Pemberdayaan (Empoering), saat ini sudah menjadi akrab sebagi orientasi pembangunan karakter warga masyarakat, terutama untuk anggota masyarakat miskin dalam menghadapi persoalan-persoalan kehiduan mereka. Dengan demikian, mereka mempunyai kemandirian dan tidak bergantung pada kretivitas dan kekuatan lain. Termasuk dari negara.
            Dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik, terdapat konsep dan mekanisme pemberdayaan masing-masing. Hukum misalnya, melalui mekanisme bantuan hukum, memiliki konsep pemberdayaan untuk kelompok sasarannya. Pemberdayaan itu dilakukan dengan membangun kesadaran hukum masyarakat, agar tidak memahami kasus hukum yang dialaminya dari sudut hukum semata, tetapi juga konteks sosial politik dan ekonomi, bahkan budayanya.
            Seorang pakar bantuan hukum mengatakan, tujuan utama bantuan hukum yakni penyadaran untuk memperdayakan kelompok sasaran, yakni mereka yang buta hukum dan miskin. Dari konsep itu, lalu muncul lembaga-lembaga semacam paralegal, yakni individu-individu yang terlibat perkara hukum dididik untuk memperdayakan diri dan kelompoknya sendiri dalam menghadapi dan menyelesaikan persolannya. Tanpa harus menunggu turun tangannya aparatur negara, yang kadang justru tidak menguntungkan mereka.
            Di bidang ekonomi, mekanisme pemberdayaannya bisa merujuk ada mekanisme yang dikembangkan melalui institusi koperasi . Secara konseptual, institusi tersebut merupakan mekanisme pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan cara melibatkan mereka langsung dalam aktivitas-aktivitas perekonomian di koperasi. Atau, konsep bapak asuh-anak asuh, yakni perusahaan-perusahaan besar mendidik pengusaha-pengusaha kecil yang menjadi partner usahanya, agar bisa berkembang besar. Biarkan negara menjadi penonton atau aturan mainnya, serta mengawasi secara pasif, kalau-kalau ada kasus.
            Produk dari pendidikan seperti itu, yakni tampilnya pribadi-pribadi yang mandiri. Selain di tingkat micro seperti itu, maka tingkat macronya berupa upaya pembangunan iklim kehidupan yang lebih leluasa dan mendukung pemberdayaan publik.
            Dalam zaman postmodernism ini, semua bidang mengalami dekonstruksi, termasuk peran negara. Seberapa pun besarnya  dan terstrukturnya organisasi yang bernama negara, tidak akan meraup atau mengurusi semua tetek-bengek kebutuhan hidup rakyatnya, yang beraneka ragam dan terus berkembang tiada henti. Organisasi yang sangat besar dan sudah terstruktur, terbukti justru menjelma menjadi sosok yang lamban, birokratis, bertele-tele, biaya mahal, dan selalu selalu ketinggalan dengan akselerasi kebutuhan hidup rakyatnya. Hal itu nyaris terjadi dalam semua bidang.
            Negara bukan lagi diterima dan diakui sebagi satu-satunya kekuatan dan kekuasaan yang sah sehingga kekuasaan lain yang ada di dalam negara itu harus enyah. Dominasi dan hegemoni negara atas semua urusan kehidupan rakyatnya, bukan zamannya lagi. Sentra-sentra kekuatan dalam negara, yang memasuki semua wilayah urusan kemasyarakatan dan terlegitimasi di mata rakyat, karena secara riil dan konkret dirasakan manfaat kehadirannya, sekarang tersebar di mana-mana.
            Sentra-sentra kekuatan itu, bahkan merupakan resultan dari kreativitas masyarakat, yang tidak bisa dibendung lagi. Lantaran, mengetahui dan mengalami kegagalan negara dalam melayani mereka, baik di bidang hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan keamanan.
            Penelitian Fernando des oto dari peru, menjelaskan bahwa karena berbagi kebutuhan masyarakat tidak dapat dipuaskan oleh birokrasi pemerintahan dengan baik, maka di negara itu akhirnya masyarakat membangun sendiri semacam ‘pemerintahan informal’ atau ‘pemerintahan tandingan’. Maka di banyak negara, kini muncul permukiman transportasi, pasar, dan lainnya, yang inisiatif keberadaan dan pengelolaannya murni dari dan oleh pihak-pihak informal, bukan pemilik pemerintah resmi.
            Apalagi kalau kita melihat pendapatnya Satjito Raharjo, guru besar fakultas hukum universitas Diponegoro dalam sebuah tulisannya, perkembangan itu tidak dapat dihentikan dengan mengecap pertimbangan itu sebagai sesuatu yang negatif dan salah, karena itu harus dilarang. Pandangan dan sikap seperti ini, malah menyebabkan matinya dinamika positif yang tengah terjadi dalam masyarakat, akibat kegagalan pemerintah sendiri. Tentu saja rakyat tidak bisa diharapkan untuk menunggu dan membiarkan kegagalan negara ini, karena menyangkut kepentingan hidup mereka yang vital.
            Sekarang, negara sudah kehilangan citranya sebagai raksasa yang mampu memberi kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyatnya. Era negara sesungguhnya sudah lewat sejak akhir 2010  dan digantikan bermunculnya berbagai sentra kekuatan yang menyebar. Sentra itu tidak “melawan” negara, melainkan sekedar mengisi hal-hal yang gagal dilakukan dan ditangani oleh negara serta pemerintah.
            Karena itu, tidak perlu terlalu mencurigai kiprak LSM dalam memberdayakan rakyat di semua bidang, inisiatif mahasiswa sebagai agent of change dalam membangun sarana-sarana umum bagi rakyat di lokasi pengabdian mereka, atau pendidikan politik oleh parpol terhadap konstituennya. Semua dalam rangka memberdayakan rakyat untuk membangkitkan kemandirian mereka, menambal sulam kelemahan dan kelambanan birokrasi. Dengan demikian, dinamika sosial dari sentra-sentra kekuatan di masyarakat ini, tidak perlu membangkitkan suasana pertentangan diametral dengan pemerintah.
            Hanya yang harus dilakukan bersama­­­­__ bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga rakyat  dan para penggerak dan aktivis sosial__, yakni menjaga aagar gerakan sosial dari pihak-pihak swasta atau ‘pemerintahan formal’ tersebut, benar-benar bisa tetap menghasilkan hal-hal yang positif dan produktif bagi bangsa ini.  Karena itu, tidak boleh menimbulkan problem baru yang menimbulkan saling kecurigaan, saling serang atau saling menjatuhkan antara ‘pemerintah formal’ dengan ‘pemerintah nonformal’, karena pada akhirnya , rakyatlah yang malah dirugikan dan dikorbankan. Bukankah landasan teoritis dan orientasi keberadaan ‘pemerintah formal’ yang menggerakkan dan memberdayakan rakyat itu, semata-mata ingin mengatasi persoalan yang ada di tengah kehidupan rakyat, namun gagal diemban oleh negara dan pemerintah? Tujuan itu hanya akan terealisasi kalau masing-masing salaing melengkapi, saling menunjang, saling berpartisipasi dalam koridor mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Tulisan Ini pernah dimuat di koran SINDO edisi 22 Nopember 2011

No comments:

Post a Comment