Wednesday, April 24, 2013

Merayakan Keterkekangan pengetahuan


            Ujian Nasional (UN), sebuah frase ini mirip sebuah mantra sihir yang mampu menyihir berjuta manusia yang terseragamkan dalam ikatan identitas “pelajar” institusi pendidikan yang dinamai sekolah di negeri kita tercinta ini. Frase ini merupakan sebuah grand narasi yang tercipta dari struktur yang menekankan pada hal yang muncul dipermukakan, layaknya sebuah budaya display suatu produk dengan nilai jual tanpa menggali lagi lebih dalam pengetahuan berada pada posisi di mana dan untuk apa. Menjadikan bisnis sebagai dasar pengetahuan permukaan. Nampaknya penggalian ilmu pengetahuan menjadi sangat pragmatis saat-saat ini, dimana katanya setiap manusia dalam grand narasinya hidup dalam era modern.
           
Apa yang anda bayangkan atau ketahui tentang Ujian Akhir Nasional?, anda yang pernah melaluinya niscaya memiliki kecapan sejarah yang monumental, garis-garis pengalaman yang mempunyai rasa tersendiri. Ujian untuk lulus dari sekolah terasa lebih berat dari pada ketika awal-awal hendak memasuki sekolah. Dalam bayangan kita sebagai produk berseragam struktur pendidikan nasional pastilah kita mempunyai bayangan UN yang hampir sama khususnya yang pernah mengecapnya di abad 21__maklumlah kita merupakan produk__ walaupun ada yang sedikit berbeda tidak menjadi masalah besar, karena sangat tidak nyaman untuk mendeterminasi bayangan yang ada.
            Mari membayangkan, setelah terdengar fase “Ujian Akhir Nasional” pergerakan otomatis otak kita mengarah ke-arah angka sebagai pola standarisasi kelulusan, “masa intensif belajar” , “kegelisahan menghadapi ujian”, “pengawas ruangan”, “kecurangan-kecurangan, “pengumuman nilai”, “pawai bermotor”, “corat-coret baju”, dan “masa kebingungan mau lanjut ke mana pasca lulus”.
            Mari mengurai kasus ini, “angka” yang biasanya menjadi momok menakutkan bagi para pelajar maupun staf institusi sekolah terkait, secara hierarki mulai dari kepala sekolah, guru-guru sampai orang tua mereka. Pola ini ternyata berimplikasi pada reaksi-reaksi pragmatis walaupun tujuan awalnya adalah standarisasi yang ingin menimbulkan kesadaran rasional individu untuk meng-upgrade potensinya.
            Salah satu reaksi pragmatis dari pola angka sebagi pola standarisasi, sekolah__lembaga bimbingan belajar melihatnya sebagi bahan meraup rupiah lebih__ membuatkan apa yang mereka fokuskan sebagai “masa intensif belajar” dengan pengerjaan soal-soal terdahulu menjadi prioritasnya dengan ekspektasi ada soal-soal yang keluar nantinya “mirip” dengan soal yang dibahas baik dari modelnya hingga kepada narasinya. Dengan pola ini, maka kita berhak menyimbolkan bahwa di luar “masa intensif belajar” merupakan “masa tidak intensif belajar” atau tidak terlalu seriuslah, meskipun kata “intensif” ini merujuk pada penambahan jam belajar, kualitas pembahasan soal, tambahan gaji para guru les, dan sebagainya.
            Bagaimana jika kita membalik logika ini?, satu minggu sebelum UN belajarnya lebih rileks tetapi di luar satu Minggu itu “belajar intensif” atau mempunyai durasi yang panjang ketimbang “belajar yang tidak intensif”. Hal-ihwal seperti ini sering dipraktekkan oleh perguruan tinggi di Indonesia, dimana sebelum menghadapi Ujian Akhir Semester, akademik memberikan jatah libur__minggu tenang__ untuk mempersiapakan ujian tersebut.
            Masih seputaran tentang “standarisasi berupa angka” yang merupakan biang keladi dari reaksi pragmatis institusi, ternyata standarisasi ini membuat para kepala sekolah dan segenap jajarannya menjadikan ajang ini sebagai ajang mencari atau mempertahankan suatu hal yang bernama “citra”. Mendikotomikan citra sebagai sekolah terbaik dan favorit dengan jargon-jargon pragmatis, kita sering melihat banner di jalan-jalan dengan bertuliskan___ sekolah kami lulus 100% dan lulusan terbaik, dsb__, yang ujung-ujungnya adalah pusat sanjungan jatuh kepada kepala sekolah dan bisa meng-up grade profilnya dan lembaganya. Dari proses berfikir seperti ini muncullah cara-cara untuk menggapainya, “intensif belajar” ada yang mengatakan inilah positifnya walaupun pernyataan ini masih sangat lemah sampai “kecurangan-kecurangan” yang bernada sedikit minor (negatif).
            Jika “kepentingan” yang menjadi tolak ukur hal-ihwal ini, semua pola tersebut dapat dibenarkan demi pengejaran kepentingan masing-masing. “Kecurangan individu/kelompok” dengan cara mencari soal/jawaban sebelum ujian__kebocoran soal/jawaban yang terjadi hampir tiap tahun__, nyontek dalam ruangan kelas “ketakutan karena ada jawaban salah dan benar” dari pilihan soalnya, “kecurangan terorganisir” pihak sekolah yang memberikan bantuan jawaban terhadap murid-muridnya biasanya pada secarik kertas yang beredar di dalam kelas dan sebagainya. Jika sampai banyak yang tidak lulus, bukan hanya pelajar yang ikut memikul beban, tapi institusi sekolah “citra sekolah anjlok__ kepala sekolah berserta perangkatnya__ kira-kira begitulah narasinya, sehingga persoalan dari pola pragmatis yang sama akan terulang dari tahun ke tahun__menjadi siklus bahkan menjadi siklus siklikal.
            “Angka”, perdebatan akan hal ini akan terus menarik, karena narasi ini yang dipakai institusi sekolah untuk menjustivikasi lewat labeling seseorang pintar-bodoh. “Kejam”,  mungkin kata inilah yang pantas dipakai untuk menghabisi seseorang dengan kata “bodoh”, mengkerdilkan manusia dan menambah beban psikologis yang dari kecil apabila ia dapatkan maka “narasi bodoh” ini akan terbawa sampai ia beranjak besar bahkan sampai tua.
            “Bodoh, nakal dan tak tahu aturan”, merupakan menu paketan yang biasa seseorang ucapkan terutama bagi sosok yang dianggap mulia/sumber kebenaran mutlak “guru” yang menjudge siswa-siswanya yang berprilaku tidak seperti yang diharapkan. Padahal fakta sejarah memberikan memberi pelajaran kepada kita, pengetahuan mengalami kemajuan yang signifikan saat manusia berada pada posisi tidak setuju dalam sebuah narasi atau sebuah wacana besar yang dianggap sebagai kebenaran yang membelenggu dan dalam proses pencapaian manusia melakukan hal-hal di luar aturan orang normal. Kadang dengan sederhana melihat langit, bintang, air dan sebagainya, memunculkan pemikiran kompleks, pertanyaan-pertanyaan lalu memunculkan penjelasan-penjelasan atasnya.
            Jika kita mau “fair” dalam kehidupan ini, bahwa setiap manusia terlahir potensial dan berbeda-beda, justru itu akan menjadi kekuatan apabila ia mendapatkan instrumen untuk mengasahnya “on the right place”. Pertanyaan yang bisa kita ajukan kepada mereka yang sering menjudge pintar-bodoh, apakah anda yakin orang yang anda katakan “pintar” itu akan menjadi “orang pintar yang baik” kedapannya, melihat fakta sejarah korupsi di negeri kita ini rata-rata lahir dari orang yang semasa kecilnya terkonstruk “pintar” di sekolahnya.

No comments:

Post a Comment