Ujian Nasional (UN), sebuah frase
ini mirip sebuah mantra sihir yang mampu menyihir berjuta manusia yang
terseragamkan dalam ikatan identitas “pelajar” institusi pendidikan yang
dinamai sekolah di negeri kita tercinta ini. Frase ini merupakan sebuah grand narasi
yang tercipta dari struktur yang menekankan pada hal yang muncul dipermukakan,
layaknya sebuah budaya display suatu produk dengan nilai jual tanpa menggali
lagi lebih dalam pengetahuan berada pada posisi di mana dan untuk apa.
Menjadikan bisnis sebagai dasar pengetahuan permukaan. Nampaknya penggalian
ilmu pengetahuan menjadi sangat pragmatis saat-saat ini, dimana katanya setiap
manusia dalam grand narasinya hidup dalam era modern.
Mari membayangkan, setelah terdengar
fase “Ujian Akhir Nasional” pergerakan otomatis otak kita mengarah ke-arah
angka sebagai pola standarisasi kelulusan, “masa intensif belajar” ,
“kegelisahan menghadapi ujian”, “pengawas ruangan”, “kecurangan-kecurangan,
“pengumuman nilai”, “pawai bermotor”, “corat-coret baju”, dan “masa kebingungan
mau lanjut ke mana pasca lulus”.
Mari mengurai kasus ini, “angka”
yang biasanya menjadi momok menakutkan bagi para pelajar maupun staf institusi
sekolah terkait, secara hierarki mulai dari kepala sekolah, guru-guru sampai
orang tua mereka. Pola ini ternyata berimplikasi pada reaksi-reaksi pragmatis
walaupun tujuan awalnya adalah standarisasi yang ingin menimbulkan kesadaran
rasional individu untuk meng-upgrade potensinya.
Salah satu reaksi pragmatis dari
pola angka sebagi pola standarisasi, sekolah__lembaga bimbingan belajar
melihatnya sebagi bahan meraup rupiah lebih__ membuatkan apa yang mereka
fokuskan sebagai “masa intensif belajar” dengan pengerjaan soal-soal terdahulu
menjadi prioritasnya dengan ekspektasi ada soal-soal yang keluar nantinya
“mirip” dengan soal yang dibahas baik dari modelnya hingga kepada narasinya.
Dengan pola ini, maka kita berhak menyimbolkan bahwa di luar “masa intensif
belajar” merupakan “masa tidak intensif belajar” atau tidak terlalu seriuslah,
meskipun kata “intensif” ini merujuk pada penambahan jam belajar, kualitas
pembahasan soal, tambahan gaji para guru les, dan sebagainya.
Bagaimana jika kita membalik logika
ini?, satu minggu sebelum UN belajarnya lebih rileks tetapi di luar satu Minggu
itu “belajar intensif” atau mempunyai durasi yang panjang ketimbang “belajar
yang tidak intensif”. Hal-ihwal seperti ini sering dipraktekkan oleh perguruan
tinggi di Indonesia, dimana sebelum menghadapi Ujian Akhir Semester, akademik
memberikan jatah libur__minggu tenang__ untuk mempersiapakan ujian tersebut.
Masih seputaran tentang
“standarisasi berupa angka” yang merupakan biang keladi dari reaksi pragmatis
institusi, ternyata standarisasi ini membuat para kepala sekolah dan segenap
jajarannya menjadikan ajang ini sebagai ajang mencari atau mempertahankan suatu
hal yang bernama “citra”. Mendikotomikan citra sebagai sekolah terbaik dan
favorit dengan jargon-jargon pragmatis, kita sering melihat banner di
jalan-jalan dengan bertuliskan___ sekolah kami lulus 100% dan lulusan terbaik,
dsb__, yang ujung-ujungnya adalah pusat sanjungan jatuh kepada kepala sekolah
dan bisa meng-up grade profilnya dan lembaganya. Dari proses berfikir
seperti ini muncullah cara-cara untuk menggapainya, “intensif belajar” ada yang
mengatakan inilah positifnya walaupun pernyataan ini masih sangat lemah sampai
“kecurangan-kecurangan” yang bernada sedikit minor (negatif).
Jika “kepentingan” yang menjadi
tolak ukur hal-ihwal ini, semua pola tersebut dapat dibenarkan demi pengejaran
kepentingan masing-masing. “Kecurangan individu/kelompok” dengan cara mencari
soal/jawaban sebelum ujian__kebocoran soal/jawaban yang terjadi hampir tiap
tahun__, nyontek dalam ruangan kelas “ketakutan karena ada jawaban salah dan
benar” dari pilihan soalnya, “kecurangan terorganisir” pihak sekolah yang
memberikan bantuan jawaban terhadap murid-muridnya biasanya pada secarik kertas
yang beredar di dalam kelas dan sebagainya. Jika sampai banyak yang tidak
lulus, bukan hanya pelajar yang ikut memikul beban, tapi institusi sekolah
“citra sekolah anjlok__ kepala sekolah berserta perangkatnya__ kira-kira
begitulah narasinya, sehingga persoalan dari pola pragmatis yang sama akan
terulang dari tahun ke tahun__menjadi siklus bahkan menjadi siklus siklikal.
“Angka”, perdebatan akan hal ini
akan terus menarik, karena narasi ini yang dipakai institusi sekolah untuk
menjustivikasi lewat labeling seseorang pintar-bodoh. “Kejam”, mungkin kata inilah yang pantas dipakai untuk
menghabisi seseorang dengan kata “bodoh”, mengkerdilkan manusia dan menambah
beban psikologis yang dari kecil apabila ia dapatkan maka “narasi bodoh” ini
akan terbawa sampai ia beranjak besar bahkan sampai tua.
“Bodoh, nakal dan tak tahu aturan”,
merupakan menu paketan yang biasa seseorang ucapkan terutama bagi sosok yang
dianggap mulia/sumber kebenaran mutlak “guru” yang menjudge siswa-siswanya
yang berprilaku tidak seperti yang diharapkan. Padahal fakta sejarah memberikan
memberi pelajaran kepada kita, pengetahuan mengalami kemajuan yang signifikan
saat manusia berada pada posisi tidak setuju dalam sebuah narasi atau sebuah
wacana besar yang dianggap sebagai kebenaran yang membelenggu dan dalam proses
pencapaian manusia melakukan hal-hal di luar aturan orang normal. Kadang dengan
sederhana melihat langit, bintang, air dan sebagainya, memunculkan pemikiran
kompleks, pertanyaan-pertanyaan lalu memunculkan penjelasan-penjelasan atasnya.
Jika kita mau “fair” dalam
kehidupan ini, bahwa setiap manusia terlahir potensial dan berbeda-beda, justru
itu akan menjadi kekuatan apabila ia mendapatkan instrumen untuk mengasahnya “on
the right place”. Pertanyaan yang bisa kita ajukan kepada mereka yang
sering menjudge pintar-bodoh, apakah anda yakin orang yang anda katakan
“pintar” itu akan menjadi “orang pintar yang baik” kedapannya, melihat fakta
sejarah korupsi di negeri kita ini rata-rata lahir dari orang yang semasa
kecilnya terkonstruk “pintar” di sekolahnya.